telusur.co.id - Praktisi Hukum dari Universitas Surabaya Marianus Gaharpung menanggapi pertanyaan sejumlah pihak perihal alasan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang tak kunjung memanggil Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, Bank DKI maupun JakPro soal kasus dugaan korupsi pada penyelenggaraan Formula E Jakarta.
"Biasanya tidak bisa langsung cokot (memeriksa) yang di atas (pejabat publik). Karena apa? Pertama, adalah yang tahu soal penyelenggaraan ini berhasil atau tidak kan yang di bawah. Yang kedua, yang di bawah ini pasti menceritakan apa adanya sesuai realita yang ada," kata Marianus, Rabu (20/7/22).
Menurutnya, setelah KPK memeriksa saksi-saksi di bawah dan jika sudah mendapat informasi yang cukup soal persoalan yang sesungguhnya serta ditemukan dugaan pelanggaran atau penyimpangan, maka tahap berikutnya memeriksa pejabat sebagai pengambil kebijakan.
"Jadi jarang sekali langsung mencokot pejabat seperti bupati atau gubernur. Biasanya cokot dulu di bawah, misalnya kepala dinasnya karena dia yang mengelola dana dan diperuntukkan untuk apa," ujarnya.
Ditegaskannya, dengan dasar keterangan dari pihak-pihak di bawah atau mereka yang melaksanakan kebijakan yang dibuat pejabat, barulah KPK menyentuh atau memeriksa pejabat sebagai pengambil kebijakan.
"Karena ini menyangkut kebijakan, dan kebijakan yang salah bisa menjadi pidana. Jadi ketika melanggar peraturan perundang-undangan atau menyalahgunakan wewenang maka itulah yang dikatakan korupsi," jelasnya.
Marianus menjelaskan, kriteria para pengambil kebijakan yang bisa dipidana tertuang dalam Pasal 2 UU Nomor 31/1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20/2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dalam pasal tersebut diuraikan soal unsur penyalahgunaan wewenang seorang pejabat yang dapat merugikan kerugian negara atau menguntungkan diri sendiri dan orang lain.
"Kalau mencokot orang di atas itu berbicara tentang dua pasal saja, yaitu pasal 2 tentang melawan hukum yang dilakukan oleh pejabat, dan pasal 3 tentang penyalahgunaan wewenang yang dilakukan pejabat," ungkapnya.
"Jadi kebijakan yang dibuat itu melanggar hukumnya apa, penyelenggaraan itu sesuai nggak dengan aturan, apakah kebijakan dibuat untuk kepentingan publik atau kepentingan siapa?" jelas Marianus.
Apakah Proses Penyelidikan Kasus Formula E Terkesan Berlarut-larut?
Menjawab itu, Marianus menyakini proses penyelidikan kasus balap mobil listrik ini tidak lama. Menurutnya, fungsi penyelidikan untuk membuktikan sekurang-kurangnya dua alat bukti.
"Jadi 1.000 orang saksi pun itu baru satu alat bukti, karena barang bukti saksi. Jadi harus didukung bukti lain, apakah bukti tulisan, surat atau ahli," ujarnya.
"Jadi ini bukan soal lama atau tidak, tapi bagaimana lembaga antirasuah memenuhi dua alat bukti baru dinaikkan ke tahap penyidikan. Setelah di penyidikan di situlah ada penentuan tersangka," sambungnya.
Marianus menambahkan, proses penyelidikan yang dilakukan lembaga antirasuah itu dengan memeriksa sejumlah saksi di bawah terlebih dulu barulah kemudian memeriksa pejabat, merupakan 'strategi perang' KPK dalam menuntaskan kasus Formula E.
"Ini strategi perang KPK, memeriksa yang di bawah dulu baru pejabatnya. Andaikan pejabatnya nanti tidak diperiksa maka KPK juga tidak objektif, tebang pilih," tuturnya.
"Jadi pemeriksaan saksi-saksi di bawah itu bagian dari strategi penyelidikan. Tapi kalau KPK tidak cokok yang di atas maka KPK tidak objektif," tambah Marianus.
Marianus pun kembali menerangkan, berbicara soal korupsi itu ada dua alat ukurnya, yakni tindakan melanggar hukum dan penyalahgunaan wewenang oleh pejabat. Karena, kata dia, yang melanggar hukum itu orang-orang atas, bukan orang-orang di bawah.
"Di bawah hanya pelaksana kok. Jadi kalau orang yang punya kewenangan di atas tidak dicokot, diperiksa, bagi saya itu tidak objektif. Karena yang menyangkut pelanggaran hukum dan wewenang itu pejabat," tegasnya.
Lebih jauh, Marianus juga mengingatkan agar KPK dalam proses penyelidikan kasus dugaan korupsi Formula E harus transparan dengan memberikan informasi kepada publik sejauh mana perkembangan penanganan kasus tersebut.
'Bagian dari eksaminasi atau uji publik maka KPK harus selalu memberi informasi kepada publik sehingga publik bisa menilai layak atau tidak, transparan atau tidak, objektif atau tidak," pungkasnya. [Tp]
Begini Strategi 'Perang' KPK Ungkap Kasus Formula E Menurut Praktisi Hukum

Praktisi Hukum, Marianus Gaharpung. (Ist).