telusur.co.id - Persoalan peraturan daerah yang mewajibkan murid berpakaian muslim dan muslimah di lingkungan pendidikan formal, sudah seperti gunung es.
Hal itu disampaikan Staf Khusus Ketua Dewan Pengarah BPIP, Romo Benny Susetyo, dalam Webinar bertajuk 'Kewajiban Berpakaian Muslim dan Muslimah di Institusi Pendidikan Formal: Apakah Melanggar Konstitusi?', pada Jumat (29/1/21).
"Jika mau jujur, (masalah) ini seperti gunung es, karena peraturan tersebut tidak memenuhi peraturan Menteri Pendidikan, bahwa setiap orang tidak diwajibkan. Sekolah tidak melarang (penggunaan jilbab), tetapi tidak mewajibkan," ujar Romo Benny.
Menurut Romo Benny, hal ini terjadi karena kelemahan pengawasan atas peraturan sekolah dari Kemendikbud, dan juga karena politik identitas dari daerah itu sendiri.
Dia meyakini, persoalan ini dapat diselesaikan jika pengawasan dan ketegasan instansi terkait, yaitu Kemendikbud, terlaksana. Namun, Romo Benny mengingatikan agar hal ini tidak diperbesar dan dipolitisasi.
Dia meminta agar membuat kebijakan merujuk saja kepada peraturan Mendikbud sudah lama ada. Sekolah pun diminta untuk tidak memaksakan kehendaknya dan mengacu pada peraturan Mendikbud.
"Jika melanggar maka kena sanksi. Jika ditegakkan, ini selesai, tidak perlu ada politisasi kemana-mana," ujarnya.
Terkait politik identitas daerah, Romo Benny menyatakan bahwa peraturan daerah seharusnya tidak boleh bertentangan dengan peraturan pusat. Jika hal ini terjadi, publik berhak menggugat.
"Kekritisan, pengawasan dari masyarakat digugurkan, sehingga peraturan sepert ini sendirinya akan gugur," ungkapnya.
Senada, Pengelola Pesantren Darul Iman Pandeglang, Nisa Alwis menyatakan bahwa kejadian di Padang merupakan fenomena gunung es dari perkembangan fanatisme dan intoleransi di Indonesia.
Dia menganggap, pemaknaan terhadap jilbab telah mengalami pengkristalan belakangan ini. Seolah-oleh jilbab yang ideal adalah yang sekarang ini sedang berkembang. Padahal, materi dan penelitian terhadap jilbab bahkan sebelum islam 300 tahun yang lalu sudah dipakai oleh kaum Yunani dan Kristen Ortodok dan lainnya.
Nisa menyatakan, kearifan lokal mengajarkan keluwesan untuk berpakaian, dan sebaiknya masyarakat Indonesia mengikuti contoh tersebut.
"Kita ingat orang tua kita menggunakan busana kebiasaannya, entah itu kebaya dan lainnya, dengan kearifan masing-masing, tidak mengurangi ketaatan beragama mereka," tuturnya.
Sementara itu, Direktur Pendidikan Vox Populi Institute Indonesia, Indra Charismiadji menguraikan tiga poin terkait persoalan tersebut.
Pertama, tujuan suatu kebijakan boleh jadi baik, tetapi pelaksanaan harus juga tetap bijak. Kedua, sistem pendidikan yang melakukan penyeragaman adalah sistem yang menyalahi aturan Pancasila dan UUD 1945.
"Ketiga penindakan dari Kemendikbud sebaiknya lebih berpusat pada pendidikan guru-guru dalam hal toleransi dan nilai-nilai Pancasila, bukan hanya memberikan sanksi," tukasnya.[Fhr]