telusur.co.id - Inernational Conference Asosiasi Pengajar Hukum Adat (APHA) bakal digelar pada 7 sampai 8 Agustus 2023, berlokasi di Ruang Nusantara MPR RI. Kegiatan yang dinilai sangat penting bagi kelanjutan pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat ini, nantinya akan menghasilkan rekomendasi, yang akan diserahkan kepada Presiden Joko Widodo. 

Acara tersebut terselenggara atas kerjasama antara Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR RI), dengan Asosiasi Pengajar Hukum Adat (APHA), Universitas Pancasila, Universitas Trisakti, Universitas Nasional, dan Universitas Borobudur. 

Ketua Panitia International Conference Asosiasi Pengajar Hukum Adat (APHA), Dr. Kunthi Tridewiyanti, SH, MA, kepada wartawan mengatakan,  International Conference bertema “Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat di Tingkat Nasional dan Internasional” ini,  dilatar belakangi keberadaan masyarakat hukum adat (MHA) di Indonesia, dan juga berbagai belahan dunia dengan segala dinamika dan tantangannya terus mendorong masyarakat internasional untuk melahirkan berbagai kerangka dan norma guna memperkuat perlindungan dan pengakuan MHA. Karena tidak dapat dipungkiri bahwa konsepsi dan regulasi MHA dalam kerangka hukum internasional terus mengalami dinamika perkembangan yang menuntut negara-negara untuk melakukan penyesuaian dalam hukum domestik mereka, tidak terkecuali di Indonesia. 

Meskipun kajian tentang masyarakat hukum adat sudah banyak disusun,  namun pemberlakuan, pengakuan dan perlindungan hukumnya baik di dalam maupun di luar negeri belum seluruhnya terpenuhi.  Di Indonesia, misalnya, sampai saat ini belum memiliki perangkat hukum yang bersifat khusus dan komprehensif tentang Masyarakat Hukum Adat yang dapat memberikan panduan secara jelas tentang pengakuan dan perlindungannya, sehingga masih terdapat perdebatan yang berimplikasi pada pengakuan serta implementasi perlindungan hukum pada masyarakat hukum adat.   Beberapa instrumen hukum internasional juga sudah memberi pengakuan, seperti Konvensi International Labour Organitation Number 169 dan United Declaration on the Right of Indigenous People.  Dalam Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 telah menegaskan keberadaan masyarakat hukum adat, namun pengakuan dan pemberlakuannya masih diperlukan persyaratan administratif yang potensial membelenggu MHA.

Pengakuan dan perlindungan terhadap keberadaan masyarakat adat dalam Pasal 18 B ayat 2 dan Pasal 28 I ayat 3 UUD - 1945 menegaskan bahwa Negara mengakui dan menghormati kesatuan - kesatuan masyarakat hukum adat dengan hak - hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan prinsip negara kesatuan RI. Hal ini menunjukan bahwa Negara RI menghormati keberadaan masyarakat hukum adat dengan segala aspeknya, termasuk pemerintahan dan hukum dalam sistem hukum adat, hak-hak ekonomi dan lingkungan masyarakat hukum adat, hak ulayat, hak atas sumber daya alam dan lain sebagainya.

Salah satu upaya pengakuan dan perlindungan  menyeluruh keberadaan atas hak masyarakat adat maka harus ada peraturan khusus untuk menjembatani masyarakat adat dengan negara. Agar pemenuhan, penghormatan dan perlindungan kepada masyarakat adat dijalankan oleh Negara dengan peraturan yang jelas, lengkap dan relevan sebagai perlindugan kedaulatan Masyarakat Adat dalam mewujdukan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Sejak tahun 2002 RUU Masyarakat Adat yang kemudian di ubah menjadi RUU Masyarakat Hukum Adat sudah diusulkan dan masuk dalam Badan Legislasi (BALEG) sejakt tahun 2020, namun hingga kini selalu menjadi hambatan. Hambatan utamanya adalah terjadi tarik ulur kepentingan politik terhadap RUU Masyarakat Adat baik di eksekutif maupun di legisalatif. 

Dengan memperhatikan hal tersebut di atas, maka APHA perlu membincangkan arah dan eksistensi masyarakat hukum adat dan pemberlakukan hukum adat dalam berbagai aspek, seperti permasalahan tanggung jawab negara terhadap keberadaan masyarakat hukum adat di wilayah lingkar tambang dan sumber daya alam, pemenuhan hak-hak perempuan dan anak masyarakat hukum adat, perkembangan hukum perekonomian adat, aspek peradilan adat dan politik hukum pemenuhan hak masyarakat adat serta lainnya. Hasil dari kajian ini akan direkomendasikan kepada MPR agar MPR selalku lembaga hukum tertinggi yang dimiliki oleh negara dapat menjadi peranra rakyat kepada pemerintah dalam menyusun kebijakan lebih lanjut dalam pembangunan nasional.

Konferensi Internasional ini mengundang narasumber yang memiliki kepakaran dalam hukum adat baik itu dari dalam dan luar negeri sebagai perbandingan dalam memberikan arahan untuk dapat segera mewujudkan RUU Masyarakat adat di sahkan menjadi Undang-Undang.

"Nara sumber yang dijadwalkan hadir, yakni  Ketua MPR Bambang Soesatyo, Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Ahmad Sahroni, Menkopolhukam Mahfud MD. Selain itu, kita juga mengharapka hadir narasumber dari luar negzri, di antaranya dari Belanda, Australia, dan Filipina," kata Dr Kunthi.

Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Adat (APHA) Indonesia Dr. Laksanto Utomo, mengatakan, rekomendasi International Conference Asosiasi Pengajar Hukum Adat (APHA) akan diserahkan kepada Presiden Jokowi, hal ini agar disaat akhir  pengabdian Presiden Jokowi menengok ke belakang, Masyarakat Adat yang sudah sejak lama di punggungi, dan masyarakat adat hanya di tengok saat Pemilu dan Pilpres saja.

"Diharapkan setelah adanya rekomendasi dari International Conference Asosiasi Pengajar Hukum Adat (APHA) ini, akan ada keputusan dari pemerintah yang tegas dan memihak kepada masyarakat," tutupnya. (Fie)