telusur.co.id - Ketua Dewan Pembina Asosiasi Petani Plasma Kelapa Sawit Indonesia (APPKSI), Arief Poyuono mengatakan, penghapusan sementara tarif pungutan ekspor crude palm oil (CPO) sudah diberlakukan melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 115 Tahun 2022 yang mengatur perubahan tarif pungutan ekspor terhadap seluruh produk kelapa sawit dan turunannya belum terlalu berpengaruh.
"Pemerintah menggratiskan pungutan tersebut hingga akhir Agustus 2022 tidak akan cukup menaikan harga Tandan Buah Segar (TBS) petani atau harga TBS, selama keran ekspor masih macet," kata Arief dalam keterangannya, Senin (1/8/22).
Stok CPO nasional sebesar 8,1 juta ton tidak normal, kata Arief, kondisi biasanya stok minyak sawit Indonesia rata-rata 3 juta ton. Hal inilah yang membuat harga minyak sawit anjlok belakangan ini.
"Bila tidak, pengusaha tidak akan dapat menyerap TBS petani yang berlanjut terhadap tertahan rendahnya harga TBS," ucap Arief.
Stok CPO yang melimpah akibat dampak dari kebijakan pemerintah yang kerap terhadap industri minyak sawit, khususnya dalam rangka stabilisasi harga minyak goreng.
“Dengan banyaknya kebijakan pemerintah dalam enam bulan terakhir membuat stok minyak sawit nasional melimpah. Biasanya 3 juta ton sekarang pada Juli 8,1 juta ton. Ini yang membuat harga minyak sawit internasional turun," bebernya.
Lanjut dia, dengan skema Domestik Market Obligation (DMO) dan Persetujuan Ekspor (PE) diperkirakan volume ekspor CPO pada Juli dan Agustus hanya bisa tercapai di angka 1,89 juta ton dan 1,9 juta ton.
“Artinya, stok yang 8,1 juta ton di awal Juli 2022 ini, dalam 2 bulan ini baru bisa berkurang ke level 3,31 juta ton di akhir Agustus 2022,” katanya.
Karena itu, kata dia, Asosiasi Petani Plasma Kelapa Sawit Indonesia meminta DPR juga ikut mendesak pemerintah untuk memperjuangkan nasib para petani sawit. Asosiasi Petani Plasma Kelapa Sawit Indonesia Mendesak pemerintah agar harga TBS bisa mencapai harga diatas Rp 1.600 per kilogram.
"Presiden Jokowi harus melakukan kebijakan relaksasi ekspor untuk 6 bulan ke depan hingga akhir tahun, agar volume ekspor minyak sawit bisa mencapai 4 juta ton, minimal mulai Agustus," ujarnya.
Selain itu, model DMO untuk sementara dibatalkan bila harga CPO dipasar lokal masih berada dibawah Rp 9.500 per kilogram tanpa pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Hal tersebut bakal memberikan jaminan harga minyak goreng curah lokal bisa di level Harga Eceran Tertinggi (HET) Rp 14 ribu per liter.
Kedua, lanjut Arief, penerapan tarif potongan BPDPKS di level 0 persen mulai 15 Juli 2022 agar diberlakukan selamanya. Karena penyaluran dana hasil pengumpulan pungutan ekspor CPO selama ini salah pengunaannya dan melanggar Undang-undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan.
"Ketiga, bea keluar juga diberi relaksasi dengan diskon dari posisi sekarang sebesar 50 persen mulai Agustus sampai Desember 2022. Agar bisa memberikan dampak pada naiknya harga TBS," ucapnya.
Keempat, lanjut Arief, perlu didorong ekspor CPO sebesar mungkin. Kelima, birokrasi yang panjang dalam aturan DMO menjadi salah satu penyebab buyer CPO internasional ragu untuk berbisnis dengan industri sawit domestik, karena itu DMO harus ditiadakan. (Fhr)