Oleh: DR. TB Massa Djafar
KUALA LUMPUR Summit yang berlangsung 18-21 Desember 2019, boleh dikatakan peristiwa politik internasional yang cukup menarik. Pertemuan negara-negara Muslim ini muncul ditengah dunia didominasi oleh dua kekuatan besar, Amerika Serikat dengan sekutunya, dan Tiongkok. Pertemuan yang dihadiri oleh 4 kepala negara, delegasi dari 18 negara islam, sekitar 450 delegasi terdiri para pemimpin, intelektual, politisi dan organisasi non-pemerintah dari 56 negara.
Namun ada kejanggalan, Indonesia negara perpenduduk muslim terbesar absen. Tidak biasanya, Indonesia selalu hadir dalam forum-forum internasional, apalagi pertemuan negara-negara islam. Memang, Indonesia tidak sendiri, sebagian anggota OKI juga tidak hadir. Pertanyaanya, apakah Kuala Lumpur Summit punya agenda terselubung, sehingga banyak teka-teki yang muncul ? Kemana arah pergerakannya ?
Isu Utama dan Kritik
Isu besar yang mengemuka dalam pertemuan Kuala Lumpur Summit tentang krisis negar-negara Muslim. Pergolakan yang melanda negera Muslim, seolah-olah tampak terjadi karena soal internal negara Muslim, seperti konflik di Libya, Iraq, Yaman dan Suriah. Atau karena kesalahan dari minoritas Muslim itu sendiri, seperti yang terjadi di Uighur, India, Rohingnya sehingga mereka terusir dari tanah airnya. Karena tuduhan terorisme yang dialamatkan kepada mereka minoritas Muslim.
Perlakuan pemerintah Tiongkok terhadap minoritas Muslim Uighur sangat kejam, dengan alasan terorisme. Bukan hanya diskriminasi HAM, tapi juga genosida. Meskipun pemerintah Tiongkok selalu membantah, tapi bukti-bukti kekejaman bocor ke dunia luar. Sementara pemeriksaan tak mungkin dilakukan bagi sebuah negara otoriter, negara komunis. Termasuk pembuktian adanya kelompok teroris.
Perang saudara atau penindasan oleh penguasa non Muslim, sehingga mereka menjadi migran ke berbagai negara, bukan karena keinginan dirinya. Tetapi karena terpaksa dan dipaksa oleh keadaan, melalui tangan-tangan yang bekerja sistematik. Dalam istilah lain, menggunakan strategi proxy war, ujung-ujungnya penghancuran terhadap negara-negara Muslim Ataupun minoritas Muslim. Dibalik penghancuran terhadap negara-negara Muslim di Timur Tengah, tetap saja yang menjadi pemenangnya adalah Amerika Serikat dan Sekutunya. Yang terus menancapkan kukunya, mengendalikan ekonomi politik minyak dan mesin perang.
Isu minoritas Muslim Mahathir Mohammad mengkritik tajam. Mengecam Undang-Undang Kewarganegaraan baru India, yang disebut Citizenship Amandement Bill (CAB). UU ini di nilai sangat diskriminatif. Padahal mereka telah hidup bersama 70 tahun tanpa ada masalah. Undang-Undang ini mempermudah warga minoritas dari tiga negara tetangga mendapatkan status kewarganegaraan India, kecuali Muslim. Tujuan Undang-Undang CAB sangat jelas, yaitu untuk memarjinalisasikan 200 Juta warga muslim.
Kritik Mahatir itu, ia sangat percaya diri, seakan ia mengajarkan kepada dunia tentang toleransi dan penegakan HAM. Politik domestik Malaysia sangat melindungi kaum minoritas Cina dan India. Bahkan mereka bebas berpolitik, mendirikan partai politik, Malaysia Chinese Association (MCA) dan Malaysian Indian Congress (MIC). Sudah rahasia umum, jika minoritas muslim belum tentu mendapatkan perlindungan HAM, termasuk hak-hak berpolitik
Realitas negara-negara Muslim yang mendapatkan perlakuan diskriminatif hingga genesoid tak mendapat perhatian PBB. Bahkan PBB kerab bersikap standar ganda, termasuk penyelesaian Palestina. Hak veto dimiliki oleh 5 negara, Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Tiongkok dan Rusia. Erdogan dalam pidatonya, menyampaikan kritik pedas tentang hak veto 5 negara tersebut, hanya untuk melindungi kepentingan dirinya. Ketimbang, menjaga perdamaian dunia. Erdogan dengan lantang mengatakan, tidak boleh dibiarkan nasib umat islam 1.7 Milyar berada ditangan pemilik veto.
Pendapat kritis terhadap keberadaan PBB pernah juga disampaikan oleh Bung Karno. Bahkan Indonesia pada tahun 1965 keluar dari keanggotaan PBB. Karena lebih banyak menguntungkan negara-negara besar.
Poros Baru dan Kekuatan Perubahan
Sejak awal sudah diduga, bahwa pertemuan KTT KL tidak akan dihadiri oleh semua negara-negara Muslim. Dalam wawancaranya, Mahathir menegaskan, bahwa KTT Kuala Lumpur bukan tandingan IOC atau Organisai Konferensi Islam (OKI). Namun bagian dari upaya menunjang kinerja OKI. Namun, disisi lain Erdogan, malah mengajak semua pihak untuk meninjau kembali AD ART OKI.
Duet negara Malaysia, Iran, Turki dan Qatar ini, selain karena solidaritas dunia Islam, tapi juga tersirat adanya kepentingan nasional. Yaitu bagaimana memacu pertumbuhan ekonomi agar tidak terlalu bergantung pada negara lain. Termasuk ancaman dari negara-negara yang tidak menyukai perkembagan islam. Keempat negara tersebut, boleh dikatakan relatif vokal dan independen, non blok. Namun, menurut penilaian Mahathir, kemampuan Iran dan Qatar menghadapi embargo dunia internasional, sudah teruji, Menjadi inspirasi bagi negara Muslim lain.
Karena itu, Malaysia, Turki, Qatar-Iran sepakat menggunakan kemungkinan mata uang tunggal (dinar emas) bagi negara-negara muslim. Penggunaan mata uang dinar sebagai alat tukar perdagangan diantara negara-negara Muslim. Gagasan ini, sudah lama diwacanakan oleh Mahatir sejak tahun 1997, ketika dilanda krisis moneter. Penulis kebetulan mengikuti wacana penggunaan mata uang dinar. Isu kemungkinan menggunakan uang dinar menghiasi berita, tulisan opini dan diskusi di media masa Malaysia.
Jadi, gagasan perlunya mata uang tunggal yang akan digunakan sebagai alat tukar diantara negara Muslim bukanlah hal baru. Momentum Kuala Lumpur Summit, adalah saat yang tepat, gagasan. Dimana, gagasan Mahathir itu disambut oleh Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan, agar negara-negara muslim tidak bergantung pada nilai tukar dollar.
Dalam hal senada, malahan Presiden Iran Hassan Rouhani menawarkan dengan teknologi blockchain baru, cryptocurrency bersatu (mata uang terpadu) ke negara-negara muslim dengan bekerjasama dengan bank sentral Iran. Keuntungan cryptocurrency adalah dapat memotong fluktuasi birokrasi dan pasar.
Pada penutupan Kuala Lumpur Summit, Mahathir kembali menegaskan dalam kesepakatan bersama, sudah saatnya negara-negara Muslim menggunakan mata uang Dinar sebagai transaksi perdagangan. Selain, kerjasama ekonomi, sains, teknologi dan pertahanan. Sepanjang negara Muslim bergantung pada teknologi dari negara-negara itu akan terus mengontrol usha-usaha negara Muslim untuk mengembangkan teknologi sendiri.
Kesimpulan atau hasil KTT Kuala Lumpur boleh dikatakan mengarah membangun kekuatan baru diluar kekuatan AS dan Sekutu disatu pihak dan kekuatan Tiongkok dipihak lain. Jangka panjang gerakan yang dimotori Malaysia, Iran Turki dan Qatar tidak sebatas negara-negara Muslim, bisa menginspirasi lahirnya kekuatan baru (non blok) sebagaimana yang pernah digagas oleh Sukarno.
Indonesia blok Tiongkok?
Ketidak hadiran Presiden Jokowi dalam Kuala Lumpur Submmit diduga karena adanya tekanan Tiongkok, karena dalam pertemuan tersebut muncul protes keras terhadap kebijakan politik diskriminatif HAM kepada etnik Uighur. Hal ini mudah diduga, karena Indonesia sangat bergantung kepada Tiongkok dalam “jebakan hutang”.
Ciri-ciri negara ketergantungan tidak sukar melihatnya. Dalam pendekatan teoritik, ciri depedencia state, negara ketergantugan, meliputi, Hutang, Investasi, Moneter, Perdagangan, Teknologi, dan menjadi negara (tujuan pasar) dan sumber bahan mentah. Ciri-ciri ketergantungan Indonesia pada Tiongkok, dan absennya Indonesia mensikapi soal Uighur, sebagai pertanda pemerintah Indonesia dibawah rejim jokowi masuk blok Tiongkok.
Selain itu, Indonesia juga kerap absen dalam pertemuan-pertemuan internasional lainnya, hanya mengirim delegasi. Karena itu, kepemimpinan Indonesia dalam percaturan politik global tidak diperhitungkan. Tidak seperti pada pemerintahan lalu. Mestinya, Indonesia dapat mengambil sikap netral, dan mengambil peran. Mencari alternatif, keluar dari jebakan ketergantungan pada satu blok politik atau suatu negara. Prakarsa Malaysia, Iran, Turki dan Qatar, adalah langkah berani dan memimpin, untuk keluar dari jebakan blok politik
Ketergantungan Indonesia kepada Tiongkok absolut, telah melenceng jauh dari prinsip politik luar negeri bebas aktif. Dalam konsep hubungan internasional, kebijakan politik luar negeri adalah cerminan dari politik domestik. Sikap politik luar negeri Jokowi, semakin mengkonfirmasi, bahwa pengaruh kelompok strategis terhadap dukungan pilpres Jokowi, bukan dari kalangan islam, meskipun pemilihnya massa islam. Berbeda dengan pemerintahan sebelumnya. Pada era pemerintahan Jokowi dinilai sebagian umat islam, bernada menskreditkan islam, dengan stigma-stigma politik ; terorisme, radikalisme, intoleran.
Suatu yang sangat ironi, Indonesia negara mayoritas Muslim, tapi kebijakan politik luar dan dalam negeri pemerintah tidak mencerminkan aspirasi umat islam.[***]
Penulis: Dosen Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional/Aktivis Politik Islam