telusur.co.id - Anggota Komisi X DPR Illiza Sa’aduddin Djamal menyayangkan terjadi kontroversi dari Program Organisasi Penggerak (POP) Kemendikbud. Hal itu disebabkan kurangnya transparansi dalam menseleksi Ormas maupun yayasan yang akan berkontribusi pada program tersebut.
Menurut Illiza, kekecewaan serta diikuti mundurnya Muhammadiyan dan NU dari program itu merupakan hal yang wajar. Sebab, dua Ormas itu dikenal sebagai organisasi yang mempunyai sejarah panjang pada kontribusi pendidikan di Indonesia.
"Seharusnya Kemendikbud tidak hanya menggandeng Muhammadiyah dan NU sebagai organisasi penggerak, namun melibatkan keduanya dalam membangun konsep POP karena mempunyai pengalaman dalam dunia pendidikan," kata Illiza dalam keterangannya, Kamis (23/7/20).
Politikus Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ini menjelaskan, Muhammadiyah dan NU sudah terbukti mempunyai lembaga pendidikan dari tingkat pra sekolah hingga perguruan tunggi serta menjangkau semua kalangan masyarakat. Bahkan jauh sebelum Indonesia ini merdeka.
Illiza mengatakan, Program Organisasi Penggerak (POP) sebenarnya merupakan program yang belum mempunyai payung hukum. Karena Komisi X DPR belum selesai melakukan pembahasan terkait peta jalan pendidikan.
"Sehingga ketika peta jalan masih dalam tahap pembahasan, maka apapun program yang dijadikan sebagai pengejawantahan dari visi Merdeka Belajar yang realisasinya program menggunakan anggran negara harus melalui pembahsan di komisi X," ungkapnya.
Saat ini, lanjut Illiza, pembahsan anggaran POP yang direncanakan sebesar Rp 595 miliar per tahun di Komisi X DPR masih berupa pagu indikatif. Jadi, belum ada kesepakatan terkait hal tersebut, karena masih menunggu pembahasan di Badan Anggaran DPR dan belum disetujui.
"POP nantinya diharapkan menjadi bagian dari visi merdeka belajar yang fokusnya adalah untuk mencapai hasil belajar siswa dengan tujuan meningkatnya numerasi, literasi dan karakter siswa. Diharapkan POP dapat membantu sekolah penggerak," tukas Illiza.[Fhr]