telusur.co.id - Pakar hukum Faisal Santiago menilai perlu, pemerintah dan DPR RI segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) menjadi undang-undang. Namun, hak itu harus memenuhi empat pendekatan dan pembahasannya melibatkan komponen masyarakat.
Dalam draf RUU KUHP Bab II Tindak Pidana terhadap Martabat Presiden dan Wakil Presiden, menghidupkan kembali pasal yang telah dicabut oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Dalam putusan MK No. 013-022/PUU-IV/2006 dan No. 6/PUU-V/2007, MK mencabut Pasal 134, 136 bis, 137 dan Pasal 154-155 KUHP tentang penghinaan presiden dan pemerintah.
Pasal 217 RUU KUHP menyebutkan bahwa setiap orang yang menyerang diri Presiden atau Wakil Presiden yang tidak termasuk dalam ketentuan pidana yang lebih berat dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun.
Dalam Pasal 218 Ayat (1) RUU KUHP disebutkan bahwa setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun 6 bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV (Rp200 juta).
Dalam Ayat (2) pasal yang sama disebutkan bahwa tidak merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.
Berikutnya, Pasal 219 RUU KUHP menyebutkan bahwa setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui umum dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun 6 bulan atau pidana denda paling banyak Kategori IV.
Kalau bicara mendesak pengesahan RUU KUHP menjadi undang-undang, kata Prof. Faisal Santiago, sejak dirinya kuliah pada tahun 1988 rancangan undang-undang ini sudah ada.
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Borobudur tersebut, memandang perlu RUU itu segera menjadi undang-undang. Namun, dengan catatan harus melibatkan komponen masyarakat untuk memberikan masukan.