Telusur.co.id -Penulis: Revalina Putri Nawangsari, Departemen Ilmu Administrasi Fiskal, Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Indonesia.
Keseharian kita tidak luput dari yang namanya kegiatan konsumsi. Kegiatan konsumsi adalah penggunaan barang-barang dan jasa-jasa yang secara langsung akan memenuhi kebutuhan manusia. Salah satu konsumsi yang selalu dilakukan manusia adalah terhadap barang berupa makanan dan minuman. Konsumsi makanan dan minuman yang paling digemari masyarakat Indonesia adalah produk dengan kandungan manis. Berdasarkan laporan Survei Kesehatan Indonesia 2023 yang dirilis oleh Kementerian Kesehatan (2023), sebesar 43,3% masyarakat Indonesia mengonsumsi minuman manis dengan frekuensi 1-6 kali perminggu dan 47,7% masyarakat mengonsumsi dengan frekuensi lebih dari sekali perhari. Angka tersebut lebih tinggi dibandingkan konsumsi masyarakat atas makanan manis dengan frekuensi lebih dari sekali perhari yang berada pada kisaran 33,7%. Fakta tersebut adalah hal yang cukup membahayakan untuk kesehatan seseorang karena dapat meningkatkan risiko terkenanya macam-macam penyakit, salah satunya diabetes.
Dampak dari konsumsi yang sudah berlebihan terlihat dalam tingkat prevalensi diabetes melitus yang meningkat setiap tahun. Laporan Survei Kesehatan Indonesia 2023 oleh Kementrian Kesehatan (2023) memaparkan bahwa tingkat prevalensi diabetes melitus untuk penduduk berusia 15 tahun keatas sudah berada pada kisaran 11,7%. Hal ini merupakan lonjakan sebesar 1% dari hasil survei yang dilakukan pada tahun 2018 yang berada pada kisaran 10,9%. Angka tersebut tentu cukup meresahkan apabila tidak segera ditanggulangi karena angka prevalensi diatas 10% membuktikan bahwa masyarakat yang terpapar diabetes di Indonesia memang tinggi. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia harus segera mencari cara untuk menekan angka tersebut.
Langkah Selanjutnya dari Pemerintah
Apabila kita berkaca terhadap definisi cukai, Undang-undang nomor 39 Tahun 2007 menyatakan bahwa cukai adalah pungutan negara yang dikenakan terhadap barang-barang tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik yang ditetapkan dalam undang-undang ini. Dengan ketentuan barang, antara lain konsumsinya perlu dikendalikan; peredarannya perlu diawasi; pemakaiannya dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup; atau pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara demi keadilan dan keseimbangan, dikenai cukai berdasarkan undang undang ini. Atas pertimbangan masalah yang muncul dan adanya undang-undang tersebut maka lahirlah keputusan untuk mengelompokan minuman dengan kandungan manis sebagai barang dikenakan cukai.
Pemerintah memasukkan usulan tersebut melalui Pasal 4 ayat 6 RUU RAPBN 2025 yang kemudian disahkan dalam bentuk UU Nomor 62 Tahun 2024. Penetapan tarif cukai belum dilakukan tapi sudah terdapat usulan dari Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) DPR sebesar 2,5% dimulai pada 2025 dan secara bertahap sampai 20% (katadata.co.id, 2024). Finalisasi masih menyesuaikan keadaan ekonomi yang terjadi.
Melihat Penerapan Cukai MDKM dari Negara Lain
Belum adanya pengalaman nyata membuat keraguan tetaplah muncul di kalangan masyarakat awam. Oleh karena itu, mari berkaca terhadap negara tetangga yang sudah mengimplementasikan regulasi pengenaan cukai minuman dengan kandungan manis. Thailand adalah negara pertama yang mengaplikasikannya dari Asia Tenggara, diikuti oleh Brunei, Filipina, dan Malaysia. Setiap negara menerapkan dengan ketentuan detail yang berbeda-beda tetapi dengan konsep yang sama. Berdasarkan laporan yang dirilis oleh CISDI (2022), mayoritas dari negara di Asean yang sudah mengaplikasikan regulasi Cukai MDKM menggunakan tarif spesifik dan mengenakannya terhadap minuman dengan gula, seperti minuman bersoda, berperisa, dan berpemanis dengan mengecualikan minuman dengan bahan alami, layaknya jus buah dengan kandungan 100%. Hasil tersebut mengindikasikan bahwa dilakukan pengecualian terhadap minuman dengan kandungan gula alami.
Pengimplementasiannya pun tidak luput dari tantangan yang harus mereka hadapi dari berbagai sisi. Dari sisi penjual, terjadi kegelisahan karena adanya penurunan daya beli konsumen yang menyebabkan pengurangan tenaga kerja dan kerugian bagi sektor UMKM. Dari sisi masyarakat, muncul anggapan bahwa pengenaan cukai tidak berdampak masif sehingga tidak akan merubah pola perilaku. Dan dari sisi pemerintah, kurang adanya peraturan mendukung yang bisa mendorong regulasi Cukai MDKM dengan efektif. Permasalahan yang menjadi perhatian utama adalah kemungkinan berkurangnya daya beli yang bisa menurunkan ekonomi negara. Oleh karena itu, dilakukan usaha-usaha untuk menghilangkan kegelisahan masyarakat dari pemerintah.
Usaha yang diupayakan dari pemerintah negara-negara diatas, antara lain melakukan kerjasama kuat antara pemerintah dan sektor-sektor yang terlibat dan penyederhanaan administrasi serta regulasi. Di Malaysia dilakukan pendampingan bagi industri supaya beradaptasi kemudian di Thailand disediakan bukti ilmiah dari hasil studi yang digunakan untuk menghilangkan asumsi negatif masyarakat.
Hasil eksekusi penerapan Cukai MDKM di negara tetangga nyatanya memberi pengaruh terhadap berkurangnya konsumsi harian yang didukung dengan adanya penurunan penjualan minuman manis dan pergeseran pembelian masyarakat ke produk noncukai. Bahkan di Malaysia, estimasi penurunan pendapatan negara dari cukai bisa sampai ratusan juta. Selain itu, diprediksi efek sampingnya akan menurunkan risiko penyakit seperti diabetes sampai ribuan kasus di Filipina. Langkah dan penanganan yang telah dilakukan negara lain bisa dijadikan bahan referensi bagi Indonesia dalam pengimplementasiannya nanti.
Penerapan cukai pada minuman dengan kandungan manis bisa menjadi langkah awal yang penting untuk mengurangi dampak buruk konsumsi gula berlebih di Indonesia. Meskipun tantangan pasti ada, pengalaman negara-negara seperti Thailand, Filipina, dan Malaysia menunjukkan bahwa kebijakan ini dapat berjalan efektif jika didukung dengan pendekatan yang tepat dan kerja sama lintas sektor. Jika diterapkan dengan bijak, cukai ini bukan hanya soal angka atau aturan, tetapi juga tentang membangun budaya hidup sehat. Siapkah kita memulai perubahan menuju Indonesia yang lebih sehat dan berenergi?