telusur.co.id - Polres Jakarta Barat menetapkan Direktur Utama PT ASA, Y sebagai tetsangka penimbunan obat. Namun Y tidak ditahan dengan alasan kesehatan dan yang bersangkutan hanya dikenakan wajib lapor.
Plt Ketua Indonesia Police Watch (IPW), Sugeng Teguh Santoso menilai keputusan Polres Jakbar yang tidak menahan Y sangat mencederai rasa keadilan korban covid-19. Pasalnya, masyarakat menduga terjadinya kelangkaan obat Covid-19 telah dipermainkan pihak-pihak yang serakah mengambil keuntungan, sehingga, keluarga pasien positif Covid-19 harus membeli obat dengan harga mahal.
"Padahal, saat melakukan penimbunan dan menjualnya dengan harga tinggi, Dirut PT. ASA itu tidak memikirkan pasien-pasien Covid-19. Apalagi memikirkan rakyat jelata yang tidak mampu membeli obat dengan harga mahal dan berujung kematian bagi keluarganya yang positif Covid-19," ujar Sugeng dalam keterangan tertulisnya, Rabu (4/8/21).
Bagi IPW, tidak ditahannya Dirut PT. ASA sangat diskriminatif, karena Bareskrim Polri yang menangani kasus penjualan obat covid di atas harga eceran tertinggi (HET) saja ditahan. Menurut data IPW, keempat orang yang ditahan berinisial A, FA, NS dan ER, yang hanya pengecer kecil telah ditahan Bareskrim sejak 13 hari lalu.
"Terkait dengan sikap diskriminatif tersebut, IPW mengingatkan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo akan janjinya di hadapan Komisi III DPR saat fit and proper test calon Kapolri pada 20 Januari 2021, bahwa tindakan hukum oleh Polri tidak akan tajam ke bawah tumpul ke atas," katanya.
Oleh karena itu, kata Sugeng, Kapolri harus memerintahkan Kapolres Jakbar untuk menahan Dirut PT. ASA sebagai tersangka penimbun obat. Terlebih lagi di masa pandemi seperti saat ini, penimbunan obat sangat merugikan masyarakat.
"Yang dilakukan Y dampak kerugiannya sangat besar bagi masyarakat, dibandingkan empat pedagang eceran yang ditahan Bareskrim Polri," pungkasnya. (Fhr)