telusur.co.id - Ketua Majelis Pertimbangan Pusat (MPP) PKS, Mulyanto, minta Pemerintah berhati-hati menyepakati salah satu poin persyaratan kerjasama perdagangan dengan AS berupa pertukaran data pribadi. Menurutnya, persyaratan ini sangat mengkhawatirkan karena rawan penyalagunaan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.
"Apalagi kalau kontrol lintas yurisdiksi masih lemah dan adanya ketimpangan perlindungan hukum bagi WNI di luar negeri," tegas Mulyanto dalam keterangannya, Jumat (25/7/2025).
Anggota DPR RI 2019-2024 itu menegaskan, Pemerintah jangan lemah menyikapi permintaan AS. Sehingga semua syarat yang diminta, termasuk menyerahkan data pribadi, dapat disetujui dengan gembira.
Dalam kondisi sistem pengawasan yang lemah kesepakatan ini jelas akan membahayakan. Ia khawatir adanya potensi kebocoran atau penyalahgunaan data oleh lembaga bisnis atau lembaga lainnya di luar negeri.
Menurut Mulyanto, kesepakatan internasional yang berdampak pada hak digital seperti ini harusnya melibatkan pengawasan dari legislatif dan konsultasi publik. Eksekutif tidak boleh mengabaikan peran masyarakat dalam kasus seperti ini.
DPR, lanjut dia, harus memanggil pihak terkait untuk menjelaskan dan memberikan keyakinan yang cukup memadai, bahwa data pribadi masyarakat yang sensitif tidak bocor dan disalahgunakan di luar negeri akibat transfer data tersebut.
"Karena kita tahu bahwa lembaga intelijen seperti NSA dan FBI memiliki kewenangan mengakses data pribadi warga asing di server perusahaan AS melalui Foreign Intelligence Surveillance Act (FISA 702)," ungkapnya.
Artinya, sambung Mulyanto, data WNI di cloud milik perusahaan AS dapat diakses secara legal oleh otoritas AS, tanpa harus izin dari Pemerintah Indonesia. Belum lagi potensi penyalahgunaan data pribadi oleh lembaga bisnis.
"Ini menjadi alasan Uni Eropa sempat membatalkan skema perlindungan data pribadi dengan AS pada tahun 2020," jelas Mulyanto.
Mulyanto menambahkan, perjanjian ini mengkhawatirkan akan munculnya potensi bagi terjadinya penyalahgunaan data pribadi warga Indonesia di luar negeri.
Karena data strategis WNI dan sistem informasi nasional dapat menjadi alat tekanan politik luar negeri termasuk ketergantungan pada infrastruktur asing yang menimbulkan risiko strategis dalam situasi konflik.
Untuk itu, Pemerintah perlu menunda implementasi klausul transfer data pribadi ini hingga ada mekanisme pengawasan lintas negara yang jelas dan setara yang dibahas di lembaga legislatif.
"Karena perlindungan data pribadi bukan sekedar isu teknis belaka, tetapi menyangkut martabat warga negara, kedaulatan negara serta kendali atas masa depan digital Indonesia. Juga agar Indonesia tidak menjadi “data colony” dari kekuatan digital global," tukasnya.[Nug]