telusur.co.id - Wacana pemilihan kepala daerah (Pilkada) agar dikembalikan kepada Dewan Pimpinan Rakyat Daerah (DPRD) kembali bergema usai Presiden Prabowo Subianto mengusulkan hal tersebut dalam sambutannya pada acara HUT ke-60 Partai Golkar.
Sebelumnya wacana serupa juga sudah pernah disampaikan oleh para anggota DPR RI khususnya Komisi II yang membidangi urusan kepemiluan bahwa perlu ada penataaan sistem politik pemilu secara menyeluruh sebagai bagian dari evaluasi pelaksanaan Pilpres, Pileg dan Pilkada Serentak 2024 ini.
Seperti yang dikatakan Direktur Eksekutif Sentral Politika, Subiran Paridamos, bahwa pelaksanaan Pillada serentak 2024 ini terlalu banyak menyisahkan rentetan masalah yang mesti segera dibenahi.
"Mulai dari tingkat partisipasi politik yang rendah yakni hanya 68 persen rata-rata Nasional, sangat jauh dibawah partisipasi pemilih di Pilpres yang mencapai 81,78 persen dan partisipasi politik pemilih di Pileg yang mencapai angkat sekitar 81 persen," kata Biran sapaan akrabnya kepada telusur.co.id, Sabtu (14/12/24).
Selain itu, maraknya praktik pelanggaran dalam Pilkada hingga netralitas penyelenggara maupun aparat keamanan juga masih menjadi soal yang harus diselesaikan.
"Hingga maraknya money politik serta masalah netralitas penyelenggara, birokrasi dan aparat keamanan. Itu belum lagi konflik horizontal antar pendukung, hoax, ujaran kebencian dan disinformasi, dan masih banyak problem lainnya," ujarnya.
Untuk itu, kata Biran, secara komunikasi politik, saran dan usul mengembalikan pilkada melalui pemilihan DPRD memiliki beberapa kelebihan yang diantaranya sebagai efisiensi terhadap anggaran negara.
"Pilkada oleh DPRD dapat menghemat anggaran negara, terutama di daerah dengan penduduk yang besar. Sehingga anggaran pilkada serentak yang menghabiskan APBN/APBD melalui kucuran NPHD dari APBD masing-masing Provinsi dan Kabupaten-Kota kurang lebih 41 triliun itu bisa dialihkan kesektor kebijakan politik produktif yang bersentuhan langsung dengan rakyat," kata Biran.
Kedua kata Biran, dengan pilkada dikembalikan ke DPRD maka akan menghemat waktu dan proses pemilihan.
"Pilkada melalui DPRD tidak akan menghabiskan waktu hingga berbulan-bukan apalagi sampai 1 tahun, artinya lebih singkat daripada pemilihan langsung," ucapnya.
Selain itu, jika pilkada melalui DPRD maka pasangan calon (Paslon) juga bisa lebih fokus pada kompetensi dan program. Karena secara teori politik ideal, DPRD diasumsikan sebagai entitas politik yang lebih memahami kebutuhan daerah karena memiliki literasi dan edukasi politik yang baik.
"Sehingga memilih pemimpin yang sesuai dengan visi, misi, dan program kerja kandidat, bukan sekedar popularitas," sambung penulis buku negara katanya itu.
Lebih lanjut, dengan dikembalikannya pilkada ke DPRD tentu akan mengurangi potensi konflik dan polarisasi politik di masyarakat.
"Pilkada oleh DPRD bisa menciptakan stabilitas keamanan dan politik, serta mengurangi pengaruh politik identitas, hoax, ujaran kebencian, disinformasi, kampanye negatif hingga kampanye hitam yang sering memicu konflik politik dan sosial di masyarakat," tukas Biran.
Lebih jauh lagi kata Biran, posisi, peran dan fungsi DPRD sebagai lembaga perwakilan rakyat akan lebih terlibat dalam menentukan arah pemerintahan daerah jika pilkada dikembalikan ke DPRD.
Kendati demikian, kata Biran, faktor penghambat kelebihan-kelebihan jika pilkada dikembalikan ke DPRD ini adalah partai politik itu sendiri.
"Jika partai politik tidak berbenah, terutama dalam hal rekruitmen pemimpin secara professional dan modern, maka usulan ini akan menjadi malapetaka demokrasi yang akan terulang kembali seperti zaman orde baru," pungkasnya.[Fhr]