Pilkada dan Pemilu Serentak, Mardani : Apakah Eselon 1 di Kemendagri Cukup - Telusur

Pilkada dan Pemilu Serentak, Mardani : Apakah Eselon 1 di Kemendagri Cukup

Mardani Ali Sera

telusur.co.id - Ketua DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS) tetap ngotot agar pelaksanaan Pilkada dan Pemilu tidak dilakukan serentak. Menurutnya, pengalaman Pemilu 2019 merupakan guru yang baik untuk membenahi perhelatan pesta demokrasi. Tiap tahapan amat penting untuk menjaga kualitas pemilu. "Revisi UU Pemilu diperlukan karena ada demokrasi yang ‘dipertaruhkan’," tegas Mardani, Selasa.

Setidaknya 63,2% publik menolak Pilkada digelar serentak dengan Pilpres - Pileg di 2024 (Survei Indikator Politik Indonesia, Februari 2021). Bagaimanapun suara publik perlu didengar, survei yang mengonfirmasi pentingnya revisi dan amat beralasan sebenarnya. 

Pertama, jika tetap memaksakan serentak di 2024, pemilih akan kesulitan untuk memilah isu lokal-nasional beserta eksekutif & legislatif. Pemerintahan presidensil yang efektif juga sulit tercapai baik di tingkat lokal / nasional. Belum lagi proses pencalonan akan menyulitkan parpol karena jarak Pileg & Pilkada yang berdekatan.

Revisi perlu didasarkan pada kepentingan publik jangka panjang. Hal substansial paling utama. Demokrasi pun akan sehat karena masyarakat menikmati & tidak terbebani dengan pemilu yang marathon. Harus diakui jika berkaca pada Pemilu 2019 kemarin, gelaran Pileg tenggelam oleh ingar-bingar Pilpres.

Kedua, Parpol yang baik, yang banyak berinteraksi & terhubung dengan publik. Jika 5 tahun hanya sekali, maka tahun-tahun berikutnya akan ada jarak & ini membuat oligarki di parpol kian kuat. Dengan membuat 5 tahun 3x pemilu, ada rentang waktu yang cukup, interaksi partai dengan masyarakat pun kian menguat.

Ketiga, aspirasi dari penyelenggara (KPU) juga mesti diperhatikan. KPU sendiri telah menyatakan berat bila Pemilu dilaksanakan 'borongan' di 2024.

KPU juga memerlukan payung hukum setingkat UU untuk pengaturan teknis penyelenggaraan dan aplikasi teknologi elektronik. Yang semua itu tidak bisa diselesaikan hanya dengan peraturan KPU.

Terakhir, munculnya ratusan PLT pengganti kepala daerah. Akan ada pemimpin 'tunjukan' yang bukan berasal dari kehendak rakyat. Contoh, akan ada 24 PLT gubernur karena kosongnya jabatan di 2022 & 2023. "Pertanyaannya, apakah pejabat eselon 1 di Kemendagri tercukupi?" dia mempertanyakan.

Jika tidak, akan jadi tantangan lain karena sulit mencari aparatur sipil negara dari jabatan pimpinan tinggi madya dengan kapasitas yang teruji di lapangan. "Terlebih bangsa kita masih berjuang keras melawan pandemi."

PLT Kepala Daerah juga berpotensi bekerja tegak lurus pada sumber kekuasaan & bisa berdampak pada politisasi PNS/ASN.

"Untuk itu, revisi UU Pemilu punya peran besar terhadap perkembangan demokrasi kita. Cetak biru demokrasi kita terbentang pada pasal-pasal di dalam UU ini. Mohon doa, InsyaAllah PKS akan tetap istiqomah untuk melanjutkan pembahasan RUU Pemilu karena banyak hal yang mesti diperbaiki," tuntasnya. [ham]


Tinggalkan Komentar