telusur.co.id - Kapolri Jenderal Idham Azis mencopot Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan PPNS Bareskrim Polri Brigjen Prasetyo Utomo dari jabatannya. Yang bersangkutan diketahui adalah orang yang diduga menandatangani surat jalan untuk buronan kelas kakap kasus Bank Bali Djoko Tjandra sehingga bebas berpergian dari Jakarta ke Kalimantan Barat dan kemudian menghilang lagi.
Menanggapi pencopotan Brigjen Prasetyo tersebut, Anggota Komisi III DPR RI Raden Muhammad Syafi'i mengatakan, bahwa kebijakan yang dikeluarkan di lingkungan Bareskrim Polri tidak mungkin tidak diketahui oleh atasannya.
"Ya aku rasa kan tidak ada kebijakan di lingkungan Bareskrim yang tidak diketahui oleh pimpinan. Jadi tidak mungkin itu diputuskan sendiri tanpa sepengetahuan pimpinannya, semuanya pasti sepengetahuan pimpinannya," kata pria yang akrab disapa Romo Syafi'i itu di Gedung Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (16/7/20).
Karenanya, kata Romo Syafi'i, yang bertanggung jawab terhadap keluarnya "Surat Sakti" untuk Djoko Tjandra itu tidak hanya Brigjen Prasetyo, tapi atasannya.
"Pemberian sanksi kepada Brigjen Prasetyo, yang menandatangani, itu tidak berarti persoalan sudah selesai. Tapi kan itu di bawah tanggung jawab atasannya. Jadi sebenarnya yang paling bertanggung jawab itu adalah atasannya," ungkap Politisi Gerindra itu.
Karenanya, Romo Syafi'i berharap agar kasus ini diusut tuntas, siapa saja yang bertanggung jawab atas keluarnya "Surat Sakti" untuk Djoko Tjandra tersebut.
"Ya harus diusut. Kalau dia (Brigjen Prasetyo) diberi sanksi, padahal yang bertanggung jawab adalah atasannya, sebenarnya yang paling pantas mundur itu adalah atasannya, bukan bawahannya, begitu menurut saya," pungkasnya. [Tp]