telusur.co.id - Tolok ukur keberhasilan pemberantasan korupsi selama ini hanya berpatokan pada seringnya operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan KPK. Padahal selain penindakan, KPK memiliki fungsi pencegahan.
Guru besar ilmu hukum Universitas Padjajaran, Romli Atmasasmita menilai, upaya penindakan yang dilakukan KPK selama ini belum maksimal. Pasalnya, uang hasil tindak pidana korupsi yang masuk ke kas negara jauh lebih kecil daripada biaya operasionalnya.
"Pemasukan uang KPK dari hasil korupsi hanya Rp 728 miliar. Sementara biaya negara untuk operasional KPK Rp 3 triliun setahun. Saya rasa pemberantasan korupsi secara represif tak signifikan," ujar Ramli dalam diskusi bertema 'Masa Depan KPK Pasca Putusan MK' yang diselenggarakan oleh Jakarta Journalist Center (JJC), Kamis (9/9/21).
Lebih lanjut Romli berharap, KPK era Firli Bahuri dapat mengubah pola pemberantasan korupsi. Langkah penindakan juga harus selaras dengan langkah pencegahan.
"Pemberantasan harus jalan terus, tetapi pencegahan harus diutamakan. Semoga KPK era Firli ini tidak mementingkan popularitas semata, namun mengutamakan transparansi, dan akuntabilitas," katanya.
Senada, Peneliti Lembaga Studi Anti Korupsi (LSAK) Ahmad Aron Hariri mengatakan, KPK juga memberikan pendidikan kepada masyarakat untuk mencegah terjadi tindak pidana korupsi.
"Mengenai pencegahan belum dipahami seutuhnya oleh penyelenggara negara. Selain melakukan penindakan, KPK harusnya juga melakukan edukasi bagaimana pencegahan dilakukan," ujar Ahmad.
Anggapan yang terbentuk di masyarakat selama ini, kata Ahmad, tugas pokok KPK hanya berkutat pada masalah penindakan. Padahal menurutnya, potensi menyelamatkan kerugian negara dari hasil korupsi lebih besar adalah dengan langkah pencegahan.
"Jadi ada satu perspektif di masyarakat, KPK ini dibayang-bayangi heroisme penindakan di periode sebelumnya," katanya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif KPK Watch, M Yusuf Sahide menyoroti sebagian mantan pegawai KPK yang justru saat ini balik menyerang. Padahal dulu mereka merupakan pembela mati-matian lembaga anti rasuah itu.
"Dulu waktu KPK diserang, orang-orang ini mati-matian membela KPK, namun sekarang malah menyerang KPK. Seharusnya kan harus konsisten membela mati-matian KPK, sekarang malah berbeda saling membuka aib. Ini yang membuat distrust kepada publik," kata Yusuf. (Ts)