telusur.co.id - Sengitnya penolakan masyarakat terhadap Rancangan Undang Undang Haluan Ideologi Pancasila (HIP) sepertinya tidak membuat partai pengusung RUU ini bergeming. PDIP selaku partai pengusung justru tetap kukuh pada pendiriannya, bahkan kini PDIP bermanuver dengan mengusulkan RUU HIP dirubah menjadi RUU PIP.
Hal ini menandakan partai berlambang Banten ini tetap menginginkan RUU ini disahkan menjadi UU. Koordinator Presidium Demokrasiana Institute, Zaenal Abidin Riam, menilai sikap yang ditunjukkan partai pemenang pemilu ini kontraproduktif dan tidak peka.
"Bila menginginkan RUU HIP dirubah menjadi RUU PIP itu artinya tidak memiliki kepekaan mendengarkan aspirasi masyarakat. Aspirasi masyarakat sangat jelas, menuntut RUU HIP dibatalkan," ungkap Enal di Jakarta, Rabu (8/7).
Mengganti nama RUU HIP menjadi PIP tanpa melakukan perubahan isi secara mendasar merupakan tindakan memaksakan kemauan kelompok di atas aspirasi rakyat banyak.
"Kalau substansi isinya tidak berubah itu sama saja berusaha menghindari tuntutan masyarakat, yang terbaik adalah membatalkan RUU ini," jelas Enal.
Memaksakan RUU HIP rawan menimbulkan tafsir tunggal tunggal terhadap Pancasila. "RUU HIP yang sangat kental dengan pemikiran Soekarno menafikkan fakta bahwa Pancasila merupakan kensensus bersama yang merupakan gabungan pikiran para pendiri bangsa, jadi sejak dicetuskannya Pancasila tafsirnya tidak tunggal, justru ia merupakan kumpulan tafsir yang digabung menjadi satu," pungks Enal.
Monopoli tafsir terhadap dasar negara rawan menjadikan Pancasila menjadi alat kekuasaan. "Pancasila mesti terus menjadi ideologi terbuka, biarkan masyarakat memahami pancasila dari sudut pandang masing masing, ini adalah keniscayaan dalam negara demokrasi, kita masih ingat bagaimana orde baru melakukan monopoli tafsir terhadap Pancasila, yang terjadi Pancasila justru menjadi alat kekuasaan untuk membungkam lawan politik," tutup Enal. [ham]