Telusur.co.id -Penulis: Putu Dina Apriliani, Mahasiswa Ilmu Administrasi Fiskal, Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Indonesia
Perkembangan teknologi dan digitalisasi membuka peluang besar untuk bisnis berbasis daring, salah satunya adalah jasa titip (jastip). Layanan ini menjadi tren populer di Indonesia, memungkinkan konsumen membeli barang yang diinginkan tanpa harus bepergian ke tempat barang tersebut berada. Namun, meski memberikan kemudahan, jastip juga memunculkan tantangan besar, terutama terkait regulasi kepabeanan dan perpajakan yang sering diabaikan.
Jastip beroperasi sebagai layanan yang mempertemukan konsumen dengan penyedia jasa untuk membeli produk tertentu, baik dari dalam maupun luar negeri. Penyedia jastip sering menggunakan media sosial untuk mempromosikan layanan mereka, mengambil keuntungan dari permintaan barang-barang yang sulit diakses oleh konsumen lokal. Barang yang biasanya menjadi objek jastip meliputi produk mewah, pakaian, kosmetik, elektronik, dan makanan khas dari luar negeri.
Namun, praktik jastip seringkali beroperasi di wilayah abu-abu hukum. Banyak penyedia jastip menghindari kewajiban membayar bea masuk dan pajak dalam rangka impor (PDRI) dengan memanfaatkan celah regulasi, seperti metode splitting (membagi barang titipan di antara beberapa penumpang) atau mengklaim barang sebagai kebutuhan pribadi. Hal ini tidak hanya merugikan negara dalam bentuk hilangnya potensi pendapatan pajak, tetapi juga menciptakan ketidakadilan bagi pelaku usaha resmi.
Indonesia telah memberlakukan sejumlah regulasi untuk mengatur praktik jastip, terutama terkait impor barang. Beberapa regulasi utama meliputi:
- Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Kepabeanan
- Mengatur ketentuan dasar mengenai impor barang ke wilayah pabean Indonesia, termasuk definisi impor untuk dipakai yang harus disertai pemberitahuan dan pelunasan bea masuk.
- Peraturan Menteri Keuangan Nomor 203/PMK.04/2017
- Memberikan pembebasan bea masuk hingga FOB USD 500 per orang per kedatangan untuk barang bawaan pribadi penumpang.
- Peraturan Menteri Keuangan Nomor 199/PMK.010/2019
- Mengatur ketentuan bea masuk dan PDRI atas impor barang kiriman dengan nilai di bawah USD 1.500 yang mendapat pembebasan tertentu
Tantangan dalam Penegakan Regulasi Jastip
- Ketidaktahuan dan Edukasi Publik yang Rendah
Meski regulasi seperti PMK 203/PMK.04/2017 dan PMK 199/PMK.010/2019 telah diberlakukan, banyak pelaku usaha jasa titip (jastip) dan konsumen yang tidak memahami implikasi hukum dan kewajiban perpajakan yang melekat pada barang impor. Rendahnya literasi hukum ini sering diperparah oleh kurangnya informasi yang mudah diakses terkait aturan bea cukai, terutama bagi usaha mikro atau individu yang mengoperasikan jastip sebagai bisnis sampingan. - Penghindaran Pajak dan Celah Regulasi
Beberapa pelaku jastip dengan sengaja mencari celah dalam regulasi untuk menghindari kewajiban pajak. Metode splitting atau pembagian barang ke beberapa individu dalam rombongan perjalanan sering digunakan untuk memanfaatkan pembebasan nilai pabean maksimum USD 500 per orang. Selain itu, klaim barang sebagai hadiah, kebutuhan pribadi, atau oleh-oleh juga digunakan untuk menghindari bea masuk dan pajak. - Ketidakseimbangan dalam Kompetisi Bisnis
Praktik jastip yang tidak mematuhi aturan kepabeanan menciptakan ketidakseimbangan dalam persaingan bisnis. Barang-barang yang dijual melalui jastip sering kali ditawarkan dengan harga lebih murah karena tidak dikenai pajak. Hal ini merugikan pelaku usaha resmi yang mematuhi aturan bea cukai dan perpajakan. - Keterbatasan Pengawasan Operasional
Pengawasan bea cukai saat ini mengandalkan teknologi seperti x-ray bagasi dan analisis profil penumpang, tetapi keterbatasan sumber daya manusia dan volume penumpang yang tinggi membuat pelanggaran sulit dideteksi secara efektif. Sistem pengawasan berbasis risiko juga masih menghadapi tantangan dalam hal akurasi data dan kecepatan identifikasi. - Peningkatan Modus Operandi
Para pelaku jastip terus mengembangkan modus operandi baru untuk menghindari deteksi, termasuk menggunakan jasa kurir yang sulit ditelusuri atau mencampurkan barang ilegal dengan kiriman legal untuk menyamarkan identitas barang.
Langkah Strategis Pengawasan dan Penegakan Regulasi
Langkah awal yang dapat dilakukan adalah meningkatkan edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat luas, terutama pelaku usaha dan konsumen jastip. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dapat memperluas jangkauan kampanye informasi melalui seminar, workshop, dan talkshow di berbagai lokasi strategis seperti bandara dan pusat kota. Sosialisasi ini perlu didukung oleh media digital, dengan konten edukatif yang disebarluaskan melalui media sosial, aplikasi mobile, dan situs web resmi bea cukai. Kolaborasi dengan influencer atau tokoh masyarakat yang dikenal di dunia digital juga dapat meningkatkan efektivitas pesan untuk menjangkau generasi muda yang menjadi pengguna utama layanan jastip.
Penggunaan teknologi canggih juga menjadi langkah strategis yang sangat penting. Penguatan sistem pengawasan melalui teknologi berbasis data dan kecerdasan buatan dapat membantu Bea dan Cukai mendeteksi pelanggaran secara lebih efisien. Misalnya, integrasi data antara manifest barang, profil penumpang, dan hasil analisis x-ray bagasi dapat memberikan gambaran risiko yang lebih akurat. Selain itu, pemanfaatan teknologi AI untuk memproses dan menganalisis hasil x-ray secara otomatis akan meningkatkan kecepatan dan akurasi pengawasan. Pemerintah juga dapat membuka kanal pelaporan digital bagi masyarakat untuk melaporkan dugaan pelanggaran, sehingga pengawasan dapat dilakukan secara lebih kolaboratif.
Penegakan hukum yang tegas harus menjadi prioritas untuk menciptakan efek jera bagi pelanggar. Pemerintah perlu memberlakukan sanksi pidana yang sesuai dengan UU Kepabeanan, termasuk ancaman hukuman penjara hingga 20 tahun bagi pelaku pelanggaran berat. Selain itu, denda administratif dengan nominal yang signifikan harus diterapkan untuk menutup kerugian negara akibat hilangnya potensi pendapatan pajak. Regulasi yang ada juga perlu diperbaiki, misalnya dengan menurunkan ambang batas pembebasan bea masuk dari USD 500 menjadi nilai yang lebih rendah untuk mengurangi celah metode splitting. Pemerintah dapat mempertimbangkan pengenaan pajak khusus pada kategori barang tertentu dalam layanan jastip untuk memastikan perlakuan yang adil bagi semua pihak.
Untuk memitigasi dampak negatif dari praktik jastip ilegal, diperlukan upaya yang lebih holistik. Edukasi publik tentang regulasi, peningkatan pengawasan di titik masuk, serta pengembangan aplikasi khusus untuk transaksi jastip yang transparan dapat menjadi solusi jangka panjang. Dengan sinergi antara pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat, praktik jastip dapat berkembang menjadi bisnis yang berkontribusi pada perekonomian tanpa melanggar aturan hukum.