telusur.co.id - Usulan anggota DPR RI Fraksi PDIP Masinton Pasaribu yang mengajukan hak angket DPR ke Mahkamah Konstitusi (MK) setelah mengabulkan putusan nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait syarat usia capres-cawapres, sesuatu yang aneh. Sebab, sangat konyol putusan MK, sebagai lembaga Yudikatif, dijadikan objek hak angket
"Masa sih keputusan MK dijadikan objek hak angket, ya, kan," kata Wakil Ketua Komisi III DPR Habiburokhman di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (1/11/23).
Politisi Gerindra ini menjelaskan, hak angket biasanya digunakan untuk menyelidiki kebijakan pemerintah dalam rangka legislatif mengawasi kerja eksekutif.
"Kalau enggak salah dulu hak angket itu adalah bagaimana kita [DPR] menyelidiki kebijakan pemerintah, penekanan Itu, kan. Hak angket itu dalam konteks hubungan antara pengawas dengan yang diawasi oleh pemerintah eksekutif," ucapnya.
Ia memandang, DPR tidak bisa mengajukan hak angket ke MK yang notabene lembaga yudikatif. "Yudikatif itu kalau di trias political lembaga lain lagi, enggak bisa jadi objek hak angket begitu loh," tuturnya.
Namun demikian, Habiburokhman tak mempersoalkan bila ada yang hendak mengajukan hak angket ke MK. Namun, jangan sampai kepentingan politik pribadi memperkosa sistem hukum.
"Kami politisi punya sikap politik, punya idealisme politik sendiri ya berbeda satu sama lain, tapi jangan perkosa sistem hukum, jangan atas nama politik, ya, kan, apa yang menjadi hal dasar dalam hukum, kita abaikan," kata dia.
Diketahui, usulan Masinton Pasaribu mengenai penggunaan hak angket disampaikan dalam rapat paripurna DPR yang digelar di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (30/10/23) kemarin.
Masinton menilai, terjadi tragedi konstitusi setelah putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait batas usia capres dan cawapres.
"Tapi apa hari ini yang terjadi? Ini kita mengalami satu tragedi konstitusi pasca terbitnya putusan MK 16 Oktober lalu. Ya, itu adalah tirani konstitusi," kata Masinton.
Dia menegaskan, konstitusi harus berdiri tegak, tidak boleh dipermainkan atas nama pragmatis politik sempit.
Masinton menjelaskan, dirinya bersuara bukan atas kepentingan pasangan capres dan cawapres 2024.
"Tapi saya bicara tentang bagaimana kita bicara tentang bagaimana kita menjaga mandat konstitusi, menjaga mandat reformasi dan demokrasi ini," ucapnya
Dia menambahkan, putusan MK tersebut tidak berdasarkan kepentingan konstitusi, namun dianggap putusan kaum tirani.
"Putusan MK bukan lagi berdasar dan berlandas atas kepentingan konstitusi, putusan MK itu lebih pada putusan kaum tirani saudara-saudara. Maka kita harus mengajak secara sadar dan kita harus sadarkan bahwa konstitusi kita sedang diinjak-injak," kata Masinton.[Fhr]