telusur.co.id – Mantan Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Maria Farida Indrati menjelaskan, dalam ketentuan peralihan Undang-Undang Dasar 1945, hasil amandemen, mengenai lembaga negara, sangat berbeda dengan UUD yang sebelum di amandemen.
Karena, UUD yang awal mengatakan dalam peraturan peralihan pada Pasal 2, segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar.
“Badan negara itu namanya macam-macam, bisa Komisi, bisa dewan, bisa lembaga semuanya, tapi peraturan perundang-undangan itu tertentu batasannya. Dia sifatnya normatif dalam pasal-pasalnya dia mengatur umum bersifat keluar dan dia tidak hanya mengatur ke dalam tidak bersifat organisatoris,” kata Maria dalam peluncuran buku berjudul "Sistem Demokrasi Pancasila" di Kampus Pascasarjana Universitas Nasional, Jalan Harsono, Rangunan, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Rabu (11/3/20).
Menurut Maria, badan negara itu bisa namanya bermacam-macam. Namun sekarang, begitu diubah, maka lembaga negara yang diakui tidak hanya MPR, DPR, BPK, Presiden, MA dan DPA, tapi sekarang jika ditanya berapa jumlah lembaga negara jawabannya lebih dari 100.
Karena, semua disebut lembaga negara baik Bawaslu, KPU, DKPP, KPPU dan KPI, semuanya disebut lembaga negara. Padahal, lanjut dia, lembaga negara itu beda dengan lembaga pemerintah.
Lembaga negara adalah staf organ dimana dia merupakan kepanjangan dari Triaspolitica, dulu dikenal dengan eksekutif, legislatif dan yudikatif.
“Ini ada lembaga konstitusi misalnya dia membentuk UUD dan sebagainya. Tapi lembaga yang melaksanakan UU itu merupakan lembaga pemerintah, tapi semua orang mengatakan banyak sekali pejabat negara,” tuturnya.
Dengan banyaknya lembaga negara, maka konsekuensinya pajak dari rakyat habis untuk membiayai lembaga negara. Jika ada wacana amandemen ke-5 UUD dalam rangka meletakan GBHN, Maria mengaku sangat senang.
Namun, kalau MPR kemudian memegang kekuasaan dengan menetapkan GBHN, dirinya mempertanyakan fungsinya, wewenanang MPR itu apa? Sebab MPR tidak lagi memilih Presiden, menetapkan pun tidak.
“Nah, tanya Presiden Indonesia kita setelah perubahan ini punya enggak dia TAP tentang penetapan dan pelantikan, enggak ada. Tanya Pak Jokowi sekarang punya enggak TAP? Padahal TAP itu adalah SK-nya, dia adalah presiden Indonesia, yang telah dipilih melalui KPU karena yang menang dia, maka dia ditetapkan. Nah, kalau ditetapkan maka MPR masih bisa mengatakan ‘karena saya yang menetapkan saya berikan GBHN’, masih boleh. Tapi, sekarang menetapkan pun tidak,” imbuhnya.
Dijelaskan Maria, setiap orang yang naik jabatan itu harus ada SK. Karena disitu, menjelaskan jabatannya apa, wewenangnya apa dan gajinya berapa.
“Presiden kita nggak punya itu, nah ini kan sesuatu yang sangat kebablasan,” sesalnya.
Selain itu, tutur Maria, saat MPR bersidang pada 2019 lalu yakni melantik Presiden, patut dipertanyakan.
“Kemarin pak Jokowi dilantik saya menanyak yang lantik Pak Jokowi itu siapa? undangannya undangan pelantikan presiden dan wakil presiden, tapi yang melantik presiden Jokowi kemarin itu siapa? nggak ada kan, hanya tamu-tamu. Ada SK-nya? nggak ada,” ucap dia.
'Presiden hanya mengatakan saya Joko Widodo mengangkat sumpah sebagai Presiden Indonesia dan seterusnya, artinya dia menyumpahi dirinya sendiri ya kan dan apa yang ditandatangi bukan SK bahwa dia adalah Presiden yang dipilih oleh KPU dan dimenangkan oleh mereka tapi yang ditandatangi adalah berita acara sumpah. Berita acara sumpah itu mengikatnya kemana, siapa yang bersumpah dengan yang di atas sana (Tuhan), nah ini hal yang nggak cocok lagi. Jadi, saya mengatakan bahwa ada hal yang perlu kita cermati kembali kalau MPR nya mengatakan menetapkan dan melantik presiden, saya masih lumayan gitu. Jadi, kita membuat TAP MPR atas nama rakyat Indonesia menetapkan dan melantik presiden kalau menetapkan ada keputusannya itu masih lumayan tapi kan tidak. Nggak ada ketetapannya nggak ada keputusannya, tapi hanya mengangkat sumpah. Jadi, kalau kita melihat seperti ini sangat tidak tepat.”
Oleh sebab itu, dirinya sangat setuju, namanya bukan amandemen tapi re-amandemen. “Kita sisir mana yang bagus, mana yang tidak, mana yang cocok pada prinsip kita yang pertama, mana yang tidak kita tinggalkan mengatakan ada hal-hal yang perlu kita cermati,” tandasnya.[Fhr]