Oleh : Denny JA
Percakapan visioner dengan Dirut Pertamina, Simon Aloysius Mantiri, dengan Dirut Pertamina Hulu Energi, Awang Lazuardi, juga dengan direksi dan corporate secretarinya, ditambah lagi pertemuan intens dengan sesama komisaris di PHE, dan pimpinan subholding, memberi saya inspirasi satu mantra: Make Pertamina Great Again!
Pada dekade 1970-an, nama Pertamina disegani dunia. Ia berdiri sebagai simbol keberanian sebuah negara berkembang yang tak hanya bermimpi besar, tapi juga sempat mencapainya.
Di bawah kepemimpinan Ibnu Sutowo, di era Orde Baru, produksi minyak Pertamina menembus angka 1,2 juta barel per hari.
Ini jauh melampaui kebutuhan domestik. Indonesia kala itu bukan sekadar swasembada energi, tetapi juga eksportir utama minyak mentah.
Namun waktu berubah.
Perusahaan yang dahulu menjadi lambang kebanggaan nasional kini kerap dikaitkan dengan problem struktural: produksi yang merosot hingga tinggal sekitar 600 ribu barel per hari.
Lalu sering menjadi berita. Bayang-bayang mafia impor, korupsi dalam pengadaan, serta beban utang yang sempat membengkak pada era 1990-an hingga awal 2000-an, bahkan menjadi salah satu pemicu krisis ekonomi 1998.
Lebih menyakitkan lagi, Petronas perusahaan minyak Malaysia yang dahulu berguru pada Pertamina; telah menjelma menjadi raksasa global.
Petronas tampil dengan struktur korporasi yang ramping, transparan, dan modern.
Sementara Pertamina, selama bertahun-tahun, terseok oleh politik internal dan beban birokrasi.
24 Juli 2025, saya selaku Komisaris Utama Pertamina Hulu Energi (PHE) bertemu dengan Direktur Utama Pertamina, Simon Aloysius Mantiri.
Percakapan empat mata. Sangat akrab dan penuh muatan visi strategis.
Kami hanya berbincang satu jam. Namun dari percakapan itu lahir kesepahaman yang kuat: membuat Pertamina bangkit.
Bukan sekadar slogan, tetapi sebuah komitmen kerja.
Dengan program konkret, kerangka waktu, metrik evaluasi, dan semangat kolaboratif.
Kami membahas tiga agenda utama:
1. Target Produksi 1 Juta Barel per Hari
Ini bukan mimpi kosong.
Dengan dukungan teknologi Enhanced Oil Recovery (EOR), eksplorasi aktif, dan percepatan perizinan, hubungan yang lebih sinergis antara Pertamina dan SKK Migas, angka ini realistis dan dapat dicapai.
2. Keterlibatan Swasta Seluas Mungkin
Negara tak bisa berjalan sendiri. Kita membutuhkan energi kewirausahaan, inovasi teknologi, dan efisiensi biaya dari sektor swasta.
Namun pelibatan ini tetap harus berada dalam koridor pengawasan, transparansi, dan keberpihakan pada kepentingan nasional.
3. Ekosistem Energi yang Berkeadilan
Kebangkitan energi bukan sekadar urusan volume produksi. Ia juga menyentuh keadilan sosial.
Masyarakat dan daerah penghasil harus diberdayakan.
Program CSR mesti menjangkau pendidikan, kesehatan, kebudayaan, dan ekonomi lokal.
Kebangkitan. Pertamina tak boleh hanya bersifat teknokratis.
Ia harus berakar pada imajinasi bangsa.
Dalam ranah CSR dan sponsorship, Pertamina akan perlu menghidupkan inisiatif budaya. Misalnya “Pertamina Peduli Budaya” akan mendukung Festival Budaya Tahunan yang merangkul film, musik, dan sastra.
Karena bangsa yang besar bukan hanya ditandai oleh kekuatan ekonominya, tapi juga oleh kekayaan narasinya dan keberanian imajinasinya.
Sebelumnya, saya juga berdiskusi dengan Direktur Utama Pertamina Hulu Energi, Awang Lazuardi, untuk menyusun langkah-langkah strategis yang tak konvensional.
Kita percaya bahwa kemandirian energi hanya bisa tercapai melalui ekosistem kolaboratif. Ini dengan membuka ruang partisipasi yang luas bagi sektor swasta dalam pengembangan hulu migas.
Dewan Komisaris PHE kini berisi delapan tokoh luar biasa. Di awal perkenalan, saya berseloroh:
“Kalau Marvel punya The Fantastic Four, maka kita: The Fantastic Eight.”
Kami juga didampingi komite ahli yang berpengalaman.
Struktur subholding pun mulai direvitalisasi dengan semangat efisiensi dan transparansi.
Kemandirian Energi adalah Mandat Peradaban
Kemandirian energi bukan sekadar urusan barrel atau dollar.
Ia adalah mandat peradaban.
Ia menentukan apakah Indonesia bisa menentukan arah nasibnya sendiri, atau terus bergantung pada pasar global dan tekanan geopolitik.
Jika kita ingin membuat Pertamina Great Again, maka perusahaan ini tak cukup dibangun sebagai entitas bisnis.
Ia harus tumbuh sebagai gerakan nasional.
Sebuah simbol bahwa bangsa ini sanggup berdiri di atas kakinya sendiri. Ini dicapai dengan strategi, imajinasi, dan komitmen untuk Indonesia yang lebih berdaulat.
Selain meningkatkan produksi minyak, Pertamina harus berani bergerak menuju energi terbarukan dan teknologi hijau.
Investasi strategis dalam energi bersih seperti biofuel, geothermal, dan energi surya bukan hanya akan mengurangi ketergantungan bahan bakar fosil, tapi juga menempatkan Indonesia sebagai pionir energi berkelanjutan di Asia Tenggara.
Ini adalah langkah krusial untuk masa depan yang ramah lingkungan dan tahan terhadap dinamika geopolitik energi global.
Dapat pula dibangun Pertamina Energy Innovation Hub. Ini sebuah ekosistem riset yang menggabungkan akademisi, startup energi, dan industri.
Mekanisme pelibatan swasta harus dirinci: insentif fiskal untuk investasi EOR, skema revenue-sharing yang transparan, serta platform real-time monitoring guna mencegah korupsi
pengadaan.
Di sisi birokrasi, diperlukan fast-track policy untuk simplifikasi izin migas menjadi izin terpadu, dipayungi UU khusus yang melindungi reformasi dari fluktuasi politik.
Keterkaitan budaya dan energi dapat diperkuat melalui narasi bahwa festival budaya bukan hanya CSR, tapi investasi sosial untuk membangun national identity.
Dan jika semboyan itu berhasil, itu karena kerja bersama: pemerintah pusat dan daerah, sektor swasta dan komunitas, insan teknis dan pelaku budaya, yang bergerak dalam satu semangat:
merah putih.
*Penulis adalah Konsultan Politik, Founder LSI-Denny JA, Penggagas Puisi Esai, Ketua Umum Satupena, Sastrawan, Komisaris Utama PT. Pertamina Hulu Energi (PHE), dan Penulis Buku.