telusur.co.id - Pengamat hukum, Mohammad Hisyam Rafsanjani menilai, proses pembentukan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) memang wajib dikonsultasikan dengan DPR dan Pemerintah. Namun, tidak dapat mendelegitimasi Putusan MK terhadap norma yang telah dinyatakan inkonstitusional.

Hal itu disampaikan Hisyam menanggapi keputusan Komisi II DPR, pemerintah, penyelenggara pemilu, sepakat untuk melakukan revisi PKPU, khususnya mengenai syarat usia capres-cawapres. Perubahan PKPU itu untuk menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/PUU-XXI/2023.

"Keberlakuan Putusan MK dan Konvensi Ketatanegaraan serta asas hukum lex superior derogate legi inferiori terkait proses formil Revisi PKPU Batas Usia Capres/Cawapres yang wajib dikonsultasikan oleh KPU dengan DPR dan Pemerintah, secara hukum tidak dapat mendelegitimasi proses/tahapan pemilu yang telah dilaksanakan oleh KPU," kata Hisyam dalam keterangannya, Kamis (2/11/23).

Selain itu, lanjut dia, frasa yang digunakan dalam Undang-Undang Nomor 17 tahun 2017 tentang Pemilu adalah “wajib dikonsultasikan”. Artinya, KPU tidak memerlukan “persetujuan” dalam revisi PKPU dengan DPR dan Pemerintah dengan kata lain hanya bersifat konsultasi (hearing).

Lagi pula, secara hukum ketatanegaraan, ketika norma dalam UU telah dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi (MK), norma a quo tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat. 

"Oleh karenanya, secara mutatis mutandis, keberlakuan norma dalam suatu UU tidak lagi mempunyai dasar hukum sejak Putusan MK diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum, sepanjang MK tidak menentukan lain keberlakuan norma yang telah dinyatakan inkonstitusional," tutur Hisyam.

Hisyam menerangkan, prinsip hukum putusan MK, sangat jelas tertuang dalam Pasal 24C UUD 1945 dan Pasal 10 UU MK, yaitu bersifat final dan mengikat serta berkekuatan hukum tetap sejak putusan diucapkan. 

Selain itu, persoalan etik yang tengah berlangsung di Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK), juga tidak dapat membatalkan putusan MK, dalam hal tafsir konstitusionalitas norma yang telah final dan mengikat (Res Judicata Pro Veritate Habetur).

Namun demikian, Surat Keputusan (SK) KPU tentang Penetapan Pasangan Capres/Cawapres Peserta Pemilu berpotensi digugat ke Pengadilan (Pasal 235 7/2017 UU Pemilu dan Pasal 52 19/2023 PKPU). Kendati, nantinya kembali akan menjadi perdebatan hukum.

Dalam batas penalaran yang wajar menurut hukum, penyelenggara, pengawas, dan peserta pemilu, seyogyanya bersinergi, tunduk, dan taat pada Konstitusi serta Putusan Pengadilan in casu Putusan MK sejak diucapkan. "Selain itu, proporsional dalam mempersoalkan hukum sesuai dengan ketentuan Per-Undang-Undang," tukas managing partner MHR Lawyers itu.[Fhr]