Kemenkop Dukung Kehadiran LPS Khusus Bagi Koperasi  - Telusur

Kemenkop Dukung Kehadiran LPS Khusus Bagi Koperasi 


telusur.co.id - Kementerian Koperasi dan UKM menyambut baik dibentuknya Rancangan Undang-Undang tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (RUU PPSK) oleh Komisi XI DPR. Dalam pembahasannya, juga menyangkut tentang perkoperasian. Bahkan secara khusus mengatur terkait Koperasi Simpan Pinjam (KSP). 

Deputi Bidang Perkoperasian KemenKopUKM Ahmad Zabadi mengatakan, RUU PPSK ini dibahas dalam rangka membangun suatu ekosistem keuangan yang lebih yang lebih kokoh. Terdapat 12 sektor atau isu yang dibahas, termasuk salah satunya koperasi. 

"Dalam rapat pembahasan yang kami bersama Komisi XI DPR, disebutkan dalam pengaturan RUU PPSK ini menempatkan koperasi dalam sistem keuangan formal atau lebih kita sebut dalam penguasaan Otoritas Jasa Keuangan (OJK),” kata Zabadi dalam Webinar Hari Koperasi Tahun 2022 bertajuk Mewujudkan hadirnya Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) untuk pengembangan Modernisasi Koperasi Simpan Pinjam (KSP) secara daring, kemarin. 

Sehingga, di dalam rumusan yang telah dituangkan, keseluruhan dari fungsi mulai dari hulu pembentukan sampai dengan di hilirnya. Seperti fungsi pengawasan dan pembubaran terhadap KSP menjadi kewenangan dari OJK. 

"Namun dalam penjelasannya, kami menegaskan untuk menolak dan memberikan keberatan dengan rumusan yang disampaikan. Kami juga menjelaskan pandangan terhadap penolakan tersebut. Bahwa saat ini, sistem keuangan formal dalam kuasa OJK layaknya perbankan yang melayani pembiayaan bagi masyarakat. Sementara dari data secara empirik baru sekitar 19,8 juta dari 65 juta pelaku UMKM yang terakses ke pembiayaan perbankan,” sebutnya. 

Terlebih lagi di antara angka tersebut, mayoritas justru disumbangkan atau dikontribusi yang diakselerasi dari program BPUM KemenKopUKM, sehingga sebenarnya relatif sangat sedikit sekali UMKM yang terakses dengan sistem perbankan. 

"Itu pun disalurkan melalui dua bank yaitu BNI dan BRI, di mana UMKM ultra mikro mikro dan kecil yang belum memiliki rekening, akhirnya harus membuka rekening di bank katanya lalu setelah membuka rekening mereka tercatat sebagai pelaku usaha yang sudah terasa pembiayaannya dengan sistem perbankan," jelas Zabadi. 

Secara empirik, juga dapat dilihat, bahwa 30 juta dari dari 65 juta pelaku usaha merupakan anggota koperasi yang sebagian besar ultra mikro, mikro dan kecil. 
"Artinya, secara empirik pula, maka akses pembiayaan yang dipastikan melalui koperasi masih jauh lebih besar dibandingkan dengan kontribusi perbankan dalam membiayai UMKM. Sehingga peran KSP begitu amat sangat menonjol dan sangat kuat sekali peranannya di dalam pembiayaan pada sektor-sektor UMKM,” tegasnya. 

Zabadi menekankan, dalam RUU PPSK ini, KemenKopUKM juga merekomendasikan perlu ada semacam lembaga OJK-nya koperasi, yang menjadi badan pengawas khusus independen koperasi. 

"Kami tegaskan lembaga ini tidak di bawah KemenKopUKM, tetapi ini adalah suatu badan yang setara dengan OJK saat ini, tetapi khusus untuk koperasi," ungkapnya. 

Selain direkomendasikannya OJK khusus bagi koperasi, KemenKopUKM turut mendukung dalam RUU PPSK nanti, disebutkan perlunya ada LPS bagi simpanan anggota koperasi. Namun tidak bisa diintegrasikan dengan LPS yang ada saat ini, karena sekali lagi karakter berbeda antara perbankan dengan koperasi. 

"Kehadiran LPS khusus bagi koperasi ini diharapkan bisa menjadi pilihan yang memberikan ruang-ruang fleksibilitas yang tinggi tetap dengan mengedepankan aspek prudential (kehati-hatian) simpanan anggota koperasi, karena inilah saya kira yang menjadi satu isu penting," tegas Zabadi. 

Satu lagi yang menjadi catatan penting kata Zabadi, terkait dengan kepailitan yang menurut pandangannya, penempatan koperasi sangat tidak adil. Karena lembaga keuangan seperti perbankan maupun asuransi tidak bisa dipailitkan selain oleh pemegang otoritas yaitu Bank Indonesia (BI), OJK atau Kementerian Keuangan (Kemenkeu). 

Tak seperti yang sekarang yang dialami koperasi, di mana pailit bisa diajukan bukan saja oleh anggota bahkan non anggota yang merasa dirugikan, seperti pihak ketiga yang menjadi mitra dari koperasi yang merasa dirugikan bisa mengajukan kepailitan yang cukup hanya diajukan oleh dua orang saja. 

Ia menegaskan, hal ini bisa terjadi secara berulang. Tentunya upaya tersebut bisa menimbulkan instabilitas bagi koperasi dan keberlangsungan koperasi di masa depan. “Untuk itu kami meminta soal kepailitan ini agar koperasi equal perlakuannya seperti yang sistem keuangan perbankan di mana juga tidak bisa dipailitkan kecuali oleh pemegang otoritas,” tukasnya.[Fhr]


Tinggalkan Komentar