telusur.co.id - Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) bersama Universitas Sebelas Maret (UNS) menyelenggarakan Forum Diskusi Publik, Selasa (15/11/22). Diskusi yang mengangkat tema Sosialisasi RUU KUHP digelar di Fakultas Hukum UNS Surakarta, Jawa Tengah.
Forum yang dilaksanakan secara hybrid ini diharapkan menjadi sarana untuk meningkatkan pemahaman publik akan urgensi pembaruan KUHP di Indonesia. Sehingga diharapkan dapat lebih sesuai dengan dinamika masyarakat saat ini.
Dekan Fakultas Hukum Sebelas Maret, I Gusti Ayu Ketut Handayani mengatakan, sosialisasi RKUHP merupakan hal yang sangat penting bagi terwujudnya sebuah produk hukum atau undang-undang dengan good process. Menurutnya, dalam prinsip legalitas hukum, perumusan peraturan-peraturan harus jelas dan terperinci serta dimengerti oleh rakyat.
"Oleh karena itu, tentu acara hari ini merupakan bagian yang terpenting untuk mendukung KUHP buatan Indonesia. Tentunya transparansi dan partisipasi menjadi hal yang mutlak dan menjadi prasyarat,” kata Handayani dalam keterangannya.
Sementara itu, Akademisi Universitas Indonesia, Surastini Fitriasih menjelaskan bahwa ada pengurangan pasal dalam draf RUU KUHP padatanggal 9 November 2022. Sebelumnya, ada 632 Pasal dalam draf RUU KUHP, namun kini menjadi 627 Pasal.
“Meskipun belum sempurna, kita sudah membutuhkan KUHP buatan bangsa sendiri yang sesuai dengan nilai-nilai bangsa Indonesia. Maka itu, marilah kita mendukung KUHP buatan Indonesia dan mudah-mudahan dapat segera disahkan,” katanya.
Kemudian, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Gadjah Mada, Marcus Priyo Gunarto, menuturkan, jika prinsip keseimbangan menjadi pertimbangan yang ditonjolkan oleh para perumus RUU KUHP.
"Para perumus mencoba mencari titik keseimbangan antara kepentingan individu, kepentingan masyarakat, dan kepentingan negara. Yang kedua, titik keseimbangan antara perlindungan terhadap pelaku dan korban," ujarnya.
Perjuangan bangsa ini untuk memiliki Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sebagai kebanggaan nasional, kata Marcus, sudah mendekati kenyataan. Pasalnya, Indonesia tidak bisa bertahan menggunakan Wetboek van Strafrecht (WvS) yang memiliki bahasa asli bahasa Belanda.
"Jangan sampai penegak hukum pidana di Indonesia dilaksanakan berdasarkan ketidakmengertian sumber aslinya," tegasnya.
Hal senada juga diamini oleh Guru Besar Hukum Pidana Universitas Sebelas Maret, Supanto. Dia menyatakan dukungannya untuk Indonesia mengesahkan KUHP nasional, apalagi terdapat bias dalam menerjemahkan hukum yang berasal dari Belanda.
"Kita terkadang berbeda dalam memahami Bahasa Belanda. Politik hukum Indonesia sudah membuat kodifikasi sejak tahun 1963, yang menyerukan dengan amat sangat, agar segera rancangan kodifikasi hukum pidana nasional selekas mungkin diselesaikan,” kata Supanto. (Tp)