telusur.co.id - Pernyataan Kementerian Perdagangan yang menyebutkan kelangkaan minyak goreng disebabkan akibat penimbunan oleh masyarakat, sangat menyakitkan. Pasalnya, masyarakat menyimpan minyak lantaran kebutuhan, bukan ingin melakukan penimbunan.
“Pernyataan dari Kemendag bahwa kelangkaan minyak goreng salah satunya disebabkan karena penimbunan oleh warga, tentu ini pernyataan yang sangat menyakitkan. Bahkan tuduhan yang tidak menggunakan logika akal sehat," kata anggota Komisi VI DPR Achmad Baidowi, Sabtu (12/3/22).
Menurut Awiek, sapaan akrabnya, sangat tidak logis masyarakat kecil melakukan penimbunan. Karena, selain barangnya langka, harganya juga sangat tinggi.
Oleh sebab itu, ia meminta lebih baik Kemendag bersikap profesional dan proporsional dalam menjalankan tugas.
“Menyampaikan statemen yang bersifat tuduhan kepada masyarakat itu sama hal dengan buang badan, melempar persoalan kepada orang lain,” tegasnya.
Daripada melempar tuduhan seperti itu, lebih baik Kemendag secara gamblang menjelaskan ke masyarakat terkait tata niaga minyak goreng dari hulu sampai hilir.
“Kedua, kalau Kemendag tidak mampu mengatur tata niaga minyak goreng ini ya minta maaf saja. Misalnya, tidak bisa kendalikan harga akibat dari ulah spekulan, akibat ulah dari distributor ataupun ulah dari pengepul, ataupun para produsen,” jelasnya.
Anggota Fraksi PPP DPR itu berharap ke depannya, Kemendag berhati-hati mengeluarkan pernyataan agar tidak menimbulkan polemik baru di masyarakat.
Sebelumnya, Kemendag melalui Inspektur Jenderal Didid Noordiatmoko menyebut kelangkaan minyak goreng akibat ada masyarakat yang melakukan penimbunan minyak goreng karena adanya fenomena panic buying. Hal inilah yang sempat ramai diperbicangkan di media sosial, karena faktanya stok di pasaran memang tidak ada.
Namun, Kemendag memastikan saat ini produksi minyak goreng sudah mendekati kebutuhan dalam negeri. Sehingga, kelangkaan minyak goreng seharusnya teratasi paling lambat pada akhir Maret 2022.[Fhr]