Oleh: Sulung Nof

 

BARANGKALI tidak mudah bagi kita untuk membayangkan, sekaligus merasakan apa yang sedang dialami oleh saudara-saudara kita yang terdampak kabut asap. Ketika di dekat rumah ada yang membakar sampah, partikel debu dan asapnya tentu sangat mengganggu kita. Resikonya bisa batuk, pilek, sesak nafas, dll.

Bayangkan jika yang dibakar itu adalah hutan! Bukan hanya lintas kota/kabupaten dan provinsi, asapnya bahkan melampaui teritorial sebuah negara. Selain ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut), kabut asap yang demikian pekat dan berkepanjangan dapat mengakibatkan kematian!

Hingga Rabu (18/9/19) terdapat 2.719 hotspot (titik panas) Karhutla (kebakaran hutan dan lahan) di Pulau Sumatera, Kalimantan, Jawa dan Bali. Seluas 328.724 hektare lahan terbakar selama Januari hingga Agustus 2019, mengutip data BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana).

Berdasarkan kondisi tersebut, kualitas udara di beberapa wilayah terkategori tidak sehat sampai pada level berbahaya. BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika) Stasiun Pekanbaru merilis data pada Kamis (19/9/2019) bahwa jarak pandang hanya sekitar 700 meter.

Seorang kakek di Riau ditemukan hangus terbakar di lahan perkebunannya yang dilalap api (11/9/19). Sementara di Palembang, seorang bayi empat bulan meninggal karena menderita ISPA (15/9/19). Berbagai jenis ular termasuk tupai juga tewas terpanggang. Tanaman Kantong Semar pun hangus dilalap api.

Demi terciptanya lahan sawit untuk korporasi milik konglomerat, ribuan masyarakat serta beragam flora dan fauna menjadi korban karena harus mengungsi.

Hutan di Indonesia – terutama Kalimantan – adalah paru-paru dunia. Penghasil oksigen murni di tengah ancaman pemanasan global. Hutan sudah menjadi rumah para satwa secara turun temurun dan beranak pinak.

Perhatikan ketika orang utan melihat habitatnya ludes terbakar. Semburat wajah dan pandangannya nampak muram. Tak ada lagi tempat bercengkrama dan bergelantungan bersama sejenisnya. Kepingan peristiwa itu mungkin rasanya sama dengan seorang warga yang menangis histeris saat memandangi rumahnya yang dilahap si Jago Merah.

Coba kita masuk ke dalam imajinasi seekor hewan seperti singa kecil yang sedang terjebak saat kebakaran hutan dalam film The Lion King II: Simba's Pride. Kiara, anak dari Simba, terjebak dalam kebakaran hutan saat berburu. Ia berlari terengah-engah dan kebingungan ke sana kemari untuk meloloskan diri dari kobaran api yang membakar hutan secara sporadis.

Akhir dari ceritera tersebut ia akhirnya selamat. Berbeda dengan ular-ular di Riau dan Kalimantan yang mati bersama telur-telurnya akibat kebakaran hutan. Mereka tidak segesit singa dalam menyelamatkan diri.

Bahkan tupai yang pandai melompat pun mati karena tak ada lagi pohon yang bisa dihinggapi. Sementara api di lahan bawahnya sedang membara. Entah berapa banyak semut, cacing, kalajengking, dll yang ikut jadi korban akibat kerusakan yang disebabkan manusia di bumi.

Ikut berpartisipasi dalam penggalangan dana, bantuan obat-obatan, masker, makanan, dan lain sebagainya, tentu hal yang baik dan positif. Namun dalam tulisan ini izinkan saya menyajikan ingatan masa lalu bahwa pernah ada calon presiden yang mensimplifikasi kasus berulang macam kebakaran hutan.

Seolah ia berikan testimoni kalau masalah tersebut gampang diatasi. Tapi pada kenyataannya hanya memperpanjang daftar janji yang tak ditepati. Padahal, semua instrumen dan resources tersedia di negara ini. Sayangnya, ia seakan lebih senang memperlihatkan foto soliternya – yang seolah candid dan dramatis – di lokasi bencana seperti Palu, Lombok, Banten, dan terakhir Riau.

Semoga saudara-saudara kita yang mengalami bencana diberikan kesabaran oleh Allah SWT. Kesabaran dalam menghadapi bencana yang menghampiri maupun kesabaran dalam menyikapi pemimpin yang kurang peduli. Amin Ya Rabb.[***]

 

*) Penulis tinggal di Bandung