Telusur.co.id - Penulis: Moh Jadil Maula Bik, Mahasiswa Ilmu Administrasi Fiskal, Universitas Indonesia.
Isu cukai menjadi salah satu isu yang menjadi perbincangan hangat oleh khalayak umum akhir-akhir ini. Hal tersebut tidak terlepas dari rencana pemerintah untuk mengenakan cukai pada minuman berpemanis dalam kemasan yang rencananya berlaku pada tahun 2025. Lantas, apa alasan dan tujuan pemerintah mengenakan cukai pada produk tersebut?
Urgensi Pengenaan Cukai Pada Minuman Berpemanis Dalam Kemasan
Minuman berpemanis atau yang dikenal dengan sugar-sweetened beverages (SSBs) menjadi salah satu produk minuman yang populer di kalangan masyarakat. Merujuk data dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS), dalam jangka waktu dua periode (1996-2014), telah terjadi peningkatan konsumsi minuman berpemanis yang dilakukan oleh masyarakat sebesar 1587,5%. Tentu tingginya angka tersebut akan berkorelasi positif dengan peningkatan konsumsi gula pada masyarakat mengingat minuman berpemanis merupakan jenis minuman yang memiliki kandungan gula tinggi namun memiliki zat gizi yang rendah. Hal tersebut didasari oleh data Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2021 yang menunjukkan bahwa konsumsi gula putih per kapita harian masyarakat Indonesia mencapai 160 gram. Angka tersebut melewati batas anjuran konsumsi gula yang telah ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO. Tingginya konsumsi gula tersebut juga memiliki korelasi positif dengan peningkatan kasus penyakit tidak menular (PTM) di antaranya yakni obesitas, diabetes, dan penyakit kardiovaskular (stroke serta penyakit pada jantung dan pembuluh darah). Melansir data dari WHO, pada tahun 2018, penyakit tidak menular (PTM) menyumbang sebesar 73% penyebab kematian di Indonesia Oleh karena itu, guna mengatasi dan memerangi dampak negatif dari konsumsi minuman berpemanis secara berlebih maka diperlukan kehadiran dan peran dari pemerintah sebagai pemangku kebijakan. Kehadiran pemerintah dalam mengatur konsumsi serta peredaran dari produk minuman berpemanis tersebut diwujudkan dalam rencana penerapan cukai pada minuman berpemanis pada tahun 2025.
Cukai Minuman Berpemanis dalam Kemasan
Cnossen (2005) mengartikan cukai sebagai pajak/pungutan yang dikenakan terhadap barang-barang tertentu di mana barang tersebut memiliki beberapa karakteristik, di antaranya yakni selectivity on coverage (pengenaannya tidak berlaku terhadap semua barang dan jasa), discrimination in intent (adanya pendiskriminasian dengan tujuan spesifik), serta quantitative measurement (adanya pengawasan fisik atau pengukuran oleh otoritas cukai guna memastikan telah ditaatinya kewajiban cukai). Sedangkan, apabila kita merujuk pengertian dan karakteristik cukai menurut ketentuan perundang-undangan di Indonesia, yakni pada Pasal 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 Tentang Cukai, cukai diartikan sebagai pungutan negara yang dikenakan terhadap barang-barang tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik yang ditetapkan dalam Undang-Undang Cukai. Sifat atau karakteristik tersebut di antaranya yakni perlunya pengendalian konsumsi barang terkait; perlunya pengawasan dalam peredaran barang terkait; dimungkinkannya dampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup atas pemakaiannya; atau pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara demi keadilan dan keseimbangan, dikenai cukai berdasarkan Undang-Undang Cukai. Berdasarkan karakteristik yang telah disebutkan serta mempertimbangkan sejumlah fakta yang ada saat ini, pemerintah kemudian berencana untuk mengkategorikan minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) sebagai barang yang dikenakan cukai di mana pengenaan cukai atas MBDK ini selaras dengan teori Pigouvian tax, yakni pungutan yang dikenakan atas aktivitas yang memiliki eksternalitas negatif.
Mengutip laporan dari UNICEF Indonesia (2023), pengenaan cukai minuman berpemanis ini memiliki lima tujuan utama di antaranya untuk meningkatkan harga produk minuman berpemanis, mendorong pergeseran dari konsumsi minuman berpemanis ke konsumsi air minum, mengalihkan perilaku masyarakat dengan membawa pesan bahwa konsumsi minuman berpemanis secara terus menerus merupakan bagian dari gaya hidup yang tidak sehat, menekan konsumsi gula pada masyarakat, serta menghasilkan pendapatan pemerintah yang nantinya dapat diearmark guna menjalankan program sosial dalam masyarakat.
Payung hukum atas rencana pengenaan cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) hingga kini belum menunjukkan kesiapan secara menyeluruh. Pengaturan kebijakan tersebut tertuang dalam Pasal 4 ayat 6 huruf b Undang-Undang Nomor 62 Tahun 2024 dan Pasal 194 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024. Dalam pasal tersebut diketahui bahwa dalam rangka pengendalian konsumsi gula, selain ditentukan batas maksimal kandungannya, juga dapat dikenakan cukai. Apabila kita kaitkan dengan konteks minuman berpemanis, cukai akan dikenakan pada produk yang mengandung gula tambahan, baik dalam kemasan botol, kaleng, maupun bentuk lainnya. Minuman tersebut meliputi produk seperti soft drinks, teh kemasan, jus dengan gula tambahan, serta minuman berenergi.
Tentu, apabila pengenaan cukai atas minuman berpemanis dalam kemasan ini kemudian diimplementasikan maka hal ini tentu akan berdampak pada masyarakat, khususnya dalam aspek ekonomi dan sosial mereka. Ditinjau dari aspek ekonomi, pengenaan cukai ini akan meningkatkan penerimaan negara mengingat terdapat pungutan tambahan pada produk minuman berpemanis. Namun, di sisi lain, pengenaan cukai ini akan berdampak pada industri minuman berpemanis yang mau tidak mau harus meningkatkan harga penjualan sehingga berisiko untuk terjadi penurunan penjualan produk minuman berpemanis. Kenaikan tersebut kemudian berdampak kepada konsumen karena beban ekonomi yang harus dikeluarkan oleh konsumen untuk mengonsumsi produk tersebut meningkat. Kemudian, ditinjau dari aspek sosial, pengenaan cukai ini berdampak pada perubahan pola konsumsi masyarakat di mana hal ini sejalan dengan tujuan dari pengenaan cukai MBDK sehingga dapat meningkatkan tingkat kesehatan dalam masyarakat.
Melirik Implementasi Cukai Minuman Berpemanis di Negara Lain
Melansir laporan Bank Dunia (2020), tercatat lebih dari 40 negara di dunia telah mengimplementasikan cukai minuman berpemanis. Banyak negara mengenakan cukai tersebut dengan tujuan untuk mengurangi konsumsi minuman berpemanis yang memiliki eksternalitas negatif bagi masyarakat dan pada akhirnya membuahkan hasil yang positif di mana mayoritas negara yang mengimplementasikan cukai minuman berpemanis mencatat penurunan atas penurunan dan pembelian minuman berpemanis sehingga berdampak pada menurunnya tingkat konsumsi gula dalam masyarakat.
Salah satu negara berkembang yang berhasil dalam mengadopsi jenis cukai ini adalah Meksiko. Meksiko telah mengadopsi kebijakan cukai atas minuman berpemanis ini sejak tahun 2014. Pada awalnya, Meksiko menerapkan kebijakan cukai tersebut dengan tarif ad-valorem sebesar 10% per liter yang kemudian terdapat penambahan tarif spesifik untuk beberapa produk dengan jumlah kandungan tertentu sehingga negara tersebut pada akhirnya menggunakan struktur tarif campuran. Adanya tarif tambahan yang dikenakan pada minuman berpemanis tersebut berakibat pada turunnya tingkat penjualan dan konsumsi minuman berpemanis sebesar 6%-8% dan naiknya tingkat penjualan dan konsumsi minuman non-berpemanis sebesar 4-6%.
Negara lain yang berhasil dalam menerapkan cukai minuman berpemanis ini adalah Afrika Selatan. Afrika Selatan telah menerapkan kebijakan tersebut sejak tahun 2018 dengan menggunakan tarif spesifik yang didasarkan pada jumlah kandungan gula pada produk terkait. Hasil dari pengimplementasian tersebut menunjukkan penurunan sebesar 29% dalam hal pembelian atas minuman yang dikenakan cukai sehingga menurunkan jumlah konsumsi gula pada minuman tersebut sebesar 51%.
Lantas, bagaimana dengan Indonesia?
Mengingat dalam penjelasan sebelumnya disebutkan bahwa payung hukum rencana penerapan cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) masih belum matang secara sempurna, seperti belum adanya aturan teknis terkait tarif penerapan kebijakan tersebut maka terdapat beberapa pertimbangan yang perlu diperhatikan oleh pemerintah dalam mendukung implementasi kebijakan cukai MBDK, di antaranya sebagai berikut:
- Dari segi tarif, terdapat beberapa jenis tarif yang digunakan oleh negara-negara dunia, seperti tarif ad-valorem, tarif spesifik, dan tarif campuran. Proporsi tarif yang paling banyak digunakan oleh negara-negara tersebut, yakni tarif ad-valorem dan tarif spesifik. Beberapa tarif tersebut memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Tarif ad-valorem memiliki kelebihan seperti kemudahan dalam hal administrasi penerapannya, namun apabila tarif ini kemudian diimplementasikan maka adanya cukai ini tidak mendorong masyarakat untuk beralih mengonsumsi minuman yang lebih sehat secara penuh dan mendorong industri untuk mereformulasi kandungan gula pada produk terkait sehingga tarif ini lebih cocok diadopsi oleh pemerintah apabila tujuan pemerintah atas pengenaan cukai ini lebih condong ke dalam hal peningkatan penerimaan negara. Sedangkan, apabila tarif spesifik diimplementasikan maka hal ini dapat mendorong peralihan konsumsi masyarakat menuju minuman non-berpemanis dan industri terdorong untuk mereformulasi kandungan dalam produk terkait. Namun, tarif spesifik memiliki kekurangan, yakni pengadministrasiannya yang lebih rumit daripada tarif ad-valorem. Penerapan tarif ini cocok apabila tujuan pengenaan cukai yang dimiliki pemerintah berfokus dalam menangani masalah kesehatan atas konsumsi produk tersebut. Sehingga apabila pemerintah kemudian “ingin” untuk mencapai keduanya maka dapat menggunakan tarif campuran, yakni tarif ad-valorem dan tarif spesifik.
- Hal kedua yang perlu diperhatikan oleh pemerintah dalam menerapkan kebijakan cukai MBDK adalah insentif bagi industri minuman mengingat penerapan cukai atas produk tersebut memberikan dampak bagi para pelaku industri. Pemerintah dapat memberikan insentif bagi para industri apabila berhasil dalam mereformulasi produk minuman berpemanis, utamanya dari segi kandungan gulanya dan patuh dengan apa yang telah diregulasikan oleh pemerintah dari seperti dalam hal konsistensi kandungan produk. Hal ini berguna untuk memastikan industri tidak “terlalu terbebani” dengan adanya cukai atas produk terkait.
- Kemudian, terdapat alternatif instrumen lain yang dapat digunakan oleh pemerintah selain pengenaan cukai minuman berpemanis. Berkaca dari beberapa negara di dunia, selain mengenakan cukai atas produk minuman berpemanis, terdapat negara yang mengenakan kebijakan PPN (VAT), seperti India, Grenada, Bangladesh, Spanyol, dan Romania. Selain itu, kebijakan Pajak Impor (Import Tax) untuk minuman berpemanis yang berasal dari luar negeri juga diimplementasikan oleh negara lainnya utamanya di kawasan Pasifik, seperti Palau, Nauru, dan Vanuatu. Sama seperti tujuan dari cukai minuman berpemanis, kebijakan pajak impor pada beberapa negara tersebut juga bertujuan untuk mengendalikan konsumsi gula berpemanis pada masyarakat mengingat negara-negara kawasan Pasifik memiliki angka obesitas tertinggi di dunia.
Beberapa hal di atas diharapkan dapat menjadi pertimbangan bagi pemerintah saat menyusun dan mengimplementasikan kebijakan cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) di Indonesia. Kemudian, pemerintah juga diharapkan mengedepankan tujuan awal dari kebijakan ini diimplementasikan. Tidak hanya itu, transparansi dan akuntabilitas dari pemerintah juga diperlukan. Hal tersebut guna mendukung kelancaran dari kebijakan cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) di Indonesia.