Oleh : Smith Alhadar 

TAKUT legitimasi junjungannya tergerus dan kebodohannya tertutupi, para pendukung fanatik Jae -- atau buzzer bayaran -- terus berupaya dengan setengah putus asa melambungkan Jae hingga langit ke tujuh. Tak peduli para malaikat menangis sesunggukkan melihat realitas ini. Mengapa manusia bertambah bodoh saja? Upaya-upaya menyamakan Jae dengan figur-figur besar dan mulia terus dilakukan. Yang terakhir, seorang anggota DPR menyamakan gaya kepemimpinan Jae dengan Umar bin Khattab. Bahkan, pada 2014 -- sebelum Jae banyak berbohong pada rakyat -- seseorang malah menyamakan Jae dengan Jesus.

Anehnya, penyamaan ini diterima seorang pastor dengan senang hati, bahkan ia merasa lucu. Dalam tulisannya berjudul "Jesus, Jokowi, dan Keselamatan Rakyat", rohaniawan Aloys Budi Purnomo, Pr mengatakan baru-baru ini -- pada tahun pertama Jae terpilih sebagai presiden -- beredar guyonan politik yang diberi label "persamaan dan perbedaan Jae dan Jesus." 

Lima persamaan itu, pertama, sama-sama berinisial huruf J. Kedua, sama-sama anak tukang kayu. Ketiga, keduanya berasal dari Jawa Tengah. Keempat, Jae dan Jesus mencintai rakyat kecil, tersingkir, difabel. Kelima, keduanya suka blusukan menjumpai rakyat kecil. Perbedaan keduanya hanya satu: Jae dari Solo, sedangkan Jesus dari Kudus.

Menurut pastor itu, guyonan di atas merupakan harapan. "Kami sebagai umat Kristiani, terutama saya sebagai orang Katolik, yang notabene juga seorang pastor, tidak tersinggung dengan guyonan itu. Silakan saja Jae disandingkan dengan Jesus. Itu bukan pelecehan, bukan penghinaan. Pastinya, Jesus akan tersenyum simpul mendengar atau membaca guyonan itu. Dipastikan pula Ia tidak marah!," seperti dikutip kembali dalam Warta-berita.com, 3 Mei 2020.

Apakah benar dipastikan Jesus tidak marah dan dipastikan pula Ia malah tersenyum simpul? Bagaimana cara kita memastikannya? Apakah rasa humor manusia sama dengan rasa humor Tuhan (Jesus)? Meskipun hanya guyonan, pada esensinya pencipta guyonan itu meninggikan Jae sederajat dengan Jesus (Tuhan). Ya, bisa jadi Jesus tidak marah karena beliau adalah penebus dosa manusia, tapi belum tentu ia tersenyum simpul.

Dari lima kesamaan antara Jae dan Jesus, poin satu sampai tiga nampaknya tidak masalah karena memang mengandung unsur humor. Tapi poin empat dan lima mestinya bermasalah karena penyamaan itu jauh panggang dari api. Tidak ada bukti Jae mencintai rakyat kecil, tersingkir, dan difabel sebagaimana Jesus.

Semua kebijakan Jae sejak 2014 berorientasi pada kepentingan kaum oligark yang menguasai parpol, parlemen, penegak hukum, dan istana. Media massa arus utama -- sebagiannya dikuasai kaum oligark itu sendiri -- pun harus tunduk pada kemauan oligark kalau tidak mau kehilangan iklan.

Dibandingkan dengan rezim-rezim sebelumnya, rezim Jae paling lambat dalam menurunkan angka kemiskinan. Artinya apa? Dalam menjalankan kebijakan ekonomi, Jae lebih menekankan pada kepentingan investor dan kaum oligark sehingga pertumbuhan ekonomi menjadi tidak berkualitas. Pertumbuhan kue ekonomi yang sebagian besar dinikmati minoritas orang kaya, sementara mayoritas rakyat miskin hanya mendapatkan remah-remahnya saja.

Dalam menangani covid-19 terlihat jelas Jae lebih prihatin pada nasib perusahaan milik orang kaya ketimbang menyelamatkan nyawa rakyat. Memang menyelamatkan perusahaan sama artinya dengan menyelamatkan orang miskin karena keberlangsungan hidup perusahaan secara otomatis mencegah perusahaan mempertahankan tenaga kerjanya. Tapi menghadapi pandemik covid-19 konsep penyelamatan rakyat menjadi berbeda, yakni rakyat harus disantuni negara secara penuh untuk memutus mata rantai penyebaran corona secara efektif dan cepat. Apa boleh buat, perusahaan harus mencari jalan penyelamatannya sendiri.

Covid-19 adalah musibah tak terduga dan tak difahami yang penanganannya -- opsi apa pun yang dipilih -- pasti meminta korban. Akibat konsentrasi rezim lebih pada upaya menyelamatkan ekonomi ketimbang keselamatan rakyat inilah yang membuat penanganan krisis ini lamban sejak awal, amburadul, simpang-siur, tidak jelas, dan berubah-ubah. Sementara penyaluran bansos juga menimbulkan masalah karena berbasis data penerima manfaat tidak valid, tidak kredibel, dan tumpang tindih.

Omnibus Law Cipta Kerja juga dengan sangat jelas memperlihatkan Jae lebih mempertimbangkan kepentingan investor ketimbang kepentingan buruh. Naiknya iuran BPJS hingga 100 persen -- pada masa krisis covid-19 ini Jae telah mengembalikan pada besaran iuran awal -- sangat membebani rakyat. Demikian juga dipertahankannya harga BBM di saat rakyat dililit kesulitan ekonomi dan ketika harga minyak dunia telah anjlok secara drastis.

Meskipun hanya guyon, menyamakan Jae dengan Jesus dalam hal blusukan menjumpai rakyat kecil juga tidak tepat. Dan tidak bisa dianggap guyon. Masalahnya, Jae blusukan bertujuan pencitraan. Lihat, ia membawa wartawan media, terutama televisi, untuk menyorotnya masuk ke gorong-gorong. Apa yang ingin dilihat Jae dalam gorong-gorong? Pasti tidak ada. Kalaupun ada sesuatu dalam gorong-gorong pasti ia tidak memahaminya.

Jurnalis media elektronik pun diundang untuk menyorotnya membagi-bagi sembako di jalanan, atau konon ia masuk ke lorong gelap di tempat kumuh untuk membagi sembako sekaligus ingin mengetahui kehidupan rakyat. Sebenarnya ini bukan pekerjaan presiden dan bukan cara yang tepat untuk mengetahui kesulitan hidup rakyat. Dengan rajin membaca media dan sumber-sumber informasi yang melimpah tentang masalah sosial di negeri ini, sudah cukup untuk mengetahui kesulitan hidup rakyat secara keseluruhan, bukan hanya di tempat tertentu yang dikunjungi Jae.

Kalaupun secara tulus ingin membantu dan menghibur rakyat papah sebagaimana Jesus, seharusnya Jae tak usah mengundang media. Pergi saja diam-diam sambil menenteng sembako, bahkan tak perlu memperkenalkan diri sebagai presiden supaya rakyat tidak terkejut, sekali pun ini juga tak perlu dilakukan Jae. Bukankah sudah ada birokrasi dan mekanisme penyaluran bansos yang sedang dilakukan pempus, pemda, sampai kepada kepala desa?

Guyon pun seharusnya diletakkan pada tempatnya. Tidak semua hal bisa dijadikan bahan tertawaan. Penyamaan Jesus dengan Jae dalam soal akhlak dan misi Tuhan seharusnya tidak dijadikan bahan candaan. Apalagi guyonan ini sengaja diciptakan untuk mengagungkan Jae.

Yang perlu kita catat dalam peristiwa ini adalah betapa dahsyatnya kekuatan sihir Jae. Sedemikian kuatnya sehingga pendukungnya kehilangan akal sehat dalam berpendapat tentang Jae. Bayangkan saja, tanpa rasa bersalah anggota DPR menyandingkan Jae dengan Sayyidina Umar bin Khattab, Sahabat Nabi, khalifah yang lurus, penakluk ulung, dan negarawan kelas dunia. Upaya-upaya penyamaan ini jelas bertujuan menjaga marwah dan mengkebalkan kritik terhadap Jae karena tidak mungkin mempertahankan citra baik Jae dengan akal sehat.

Dalam teori relasi kuasa, pemimpin tertinggi negara harus dijaga kharisma dan wibawanya. Dalam sistem kenegaraan primitif, kepala negara diberi atribut-atribut supranatural untuk memungkinkan kebijakannya ditaati seluruh hamba-hambanya tanpa kritisisme. Pada zaman Mesir kuno, Fir'aun malah mengangkat dirinya sebagai tuhan untuk memungkinkan rakyat melaksanakan perintahnya seberat apa pun tanpa memberi jalan sekecil apa pun pada akal sehat. 

Maka kita menyaksikan rakyat Mesir membangun piramida, sebuah struktur ajaib yang hingga kini pun, dengan pengetahuan dan teknologi canggih, tak dapat kita ditiru. Coba bayangkan, 5000 tahun lalu rakyat Mesir membawa blok-blok batu yang beratnya berton-ton dari lembah Sungai Nil. Bagaimana caranya mereka membawa batu-batu itu, memotong-motongnya demikian rapi, dan menyambung-nyambungkan blok-blok batu itu tanpa semen secara persis dan akurat yang tidak berubah sedikit pun hingga hari ini. Kalau bukan karena "ketuhanan" Fir'aun tidak mungkin rakyat bersedia membangun struktur ajaib itu, yaitu kuburan Fir'aun dengan mengorbankan ribuan nyawa manusia.

Dalam konteks inilah para pendukungnya memberi atribut-atribut supranatural kepada Jae. Untuk menjaga marwahnya yang anjlok drastis. Dan ini berbahaya bagi legitimasi rezim. Sayangnya, kita hidup di zaman modern yang menimbang segala sesuatu dengan akal sehat. Sehingga penyamaan Jae dengan figur besar, bahkan dengan Jesus, sebenarnya merupakan pelecehan dan penghinaan terhadap Jae sendiri. Dalam konteks inilah mungkin yang mendorong pastor Aloys Budi Purnomo, Pr menganggap guyonan itu tidak melecehkan dan menghina Jesus.

Yang kita khawatirkan, rakyat awam yang tidak tahu siapa Jae dan siapa Jesus menelan bulat-bulat "guyonan" itu -- yang tidak mereka anggap guyonan -- sehingga menjatuhkan marwah Jesus sebagai Tuhan bagi umat Kristiani dan sebagai Nabi bagi kaum Muslim.

 

Editor: Abdurrahman Syebubakar