Ini Kata Pakar UNAIR Soal Polemik Impor Gula Tom Lembong - Telusur

Ini Kata Pakar UNAIR Soal Polemik Impor Gula Tom Lembong

Pakar Hukum Pidana dan Hukum Kesehatan Fakultas Hukum UNAIR, Dr. Riza Alifianto Kurniawan, S.H, MTCP. Foto: Ist.

telusur.co.id -SURABAYA - Putusan vonis 4,5 tahun penjara terhadap mantan Menteri Perdagangan, Tom Lembong, dalam kasus impor gula menimbulkan gelombang kontroversi. Dalam 23 kali persidangan, tidak satu pun bukti menunjukkan bahwa Lembong menikmati keuntungan pribadi.

Tom Lembong resmi dinyatakan melanggar pasal 2 ayat (1) UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang diubah melalui UU No 20 Tahun 2001, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Dari Diskresi ke Vonis

Namun dalam pembelaannya, Tom menegaskan bahwa ia tidak memiliki mens rea. Tidak ada niat jahat atau keuntungan pribadi. Fakta ini menjadi krusial karena dalam doktrin hukum pidana, "mens rea" atau niat jahat adalah elemen penting dalam membuktikan kesalahan pidana. Tanpa niat jahat, tanggung jawab pidana seharusnya menjadi debat terbuka.

Menurut Pakar Hukum Pidana dan Hukum Kesehatan Fakultas Hukum UNAIR, Dr. Riza Alifianto Kurniawan, S.H, MTCP, kasus ini menyentuh area paling sensitif, seperti penafsiran antara tindakan administratif dan tindak pidana korupsi. 

“Ini bisa dilihat sebagai kriminalisasi terhadap kebijakan publik. Padahal, pejabat punya diskresi tertentu, apalagi ketika tidak ada bukti niat jahat atau keuntungan pribadi,” urainya pada keterangan tertulisnya. Jumat, (25/7/2025).

Ratio Hakim yang Ganjil

Tom yang didakwa merugikan keuangan negara sebesar Rp 578,1 miliar itu, atas keputusannya yang mengizinkan impor tanpa prosedur koordinasi lintas sektor sehingga menurut Majelis Hakim memenuhi unsur delik tipikor.

Namun, Riza mengungkap penyalahgunaan wewenang sebagai dasar tindak pidana korupsi harus disertai bukti nyata tentang mens rea atau niat jahat. 

“Selama kebijakan tidak digunakan untuk memperkaya diri sendiri dan tidak ada perbuatan melawan hukum secara aktif, maka seharusnya itu masuk ranah administratif, bukan pidana," ujarnya.

Kriminalisasi Kebijakan Publik?

Putusan hakim yang memilih tafsir “melawan hukum” dalam konteks administratif disebut Riza sebagai bentuk potensi kriminalisasi terhadap kebijakan publik.

Ia menilai hal ini menciptakan ambiguitas hukum yang bisa mengancam independensi pengambilan keputusan di lembaga eksekutif. 

“Terjadi adalah kegagalan meyakinkan hakim bahwa tidak ada niat jahat. Tapi tetap saja, tafsir itu sangat bisa diperdebatkan,” tegasnya.

Meski Majelis hakim punya kebebasan dalam menilai perkara. Namun, putusan ini jelas mengabaikan prinsip dasar dalam hukum pidana yaitu adanya niat jahat (mens rea). Terlebih lagi, hal ini sekaligus bertentangan dengan prinsip Business Judgement Rule (BJR) yang menjadi standar dalam tata kelola pemerintahan dan korporasi modern. (ari)


Tinggalkan Komentar