telusur.co.id - Anggota Komisi VII DPR Mulyanto menilai, program hilirisasi nikel yang dijalankan selama ini, gagal. Karena, besaran nilai ekspor nikel tidak berbanding lurus dengan penambahan pendapatan negara. Justru cadangan nikel nasional terkuras dan diperkirakan akan habis dalam waktu tujuh tahun.
"Karut-marut pertambangan nikel akhir-akhir ini sudah mencapai stadium darurat," kata Mulyanto kepada wartawan, Selasa (15/7/23).
Menurut Mulyanto, pemerintah harus lebih sungguh-sungguh menata kelembagaan dalam urusan tambang, baik dalam tataran pengelolaan maupun pengawasan.
"Ditjen Minerba Kementerian ESDM perlu ditata secara serius. Begitu pula Pembentukan Satgas Tambang Ilegal atau Ditjen Penegakkan Hukum di Kementerian ESDM menjadi sangat urgen," kata Mulyanto.
Ia menambahkan, ada tiga indikasi negatif terkait pertambangan nikel yang akhir-akhir ini mencuat ke publik, yang makin menambah keraguan masyarakat terhadap program hilirisasi nikel, yakni soal ekspor nikel ilegal, tambang nikel ilegal dan dokumen tambang “ilegal”.
Ia meminta Pemerintah menuntaskan ketiga soal itu. Mulyanto mensinyalir, bisa jadi ketiga kasus ini berdiri sendiri, berbeda dan tidak saling mengkait, namun karena menyangkut komoditas yang sama maka tidak bisa disalahkan juga kalau ada dugaan ketiganya saling terkait.
Mulyanto menyebut, kondisi ini tidak bisa dibiarkan terus-menerus dan semakin akut, apalagi cadangan nikel Indonesia diperkirakan para ahli hanya tinggal 7 tahun lagi.
Pemerintah juga jangan sekedar membanggakan investasi program hilirisasi nikel saja, tetapi harus menunjukkan kinerja dan manfaat nyata program hilirisasi ini bagi masyarakat.
Secara teoritis hilirisasi nikel dalam rangka meningkatkan nilai tambah SDA, multiflier effect dan pendalaman industri memang sudah dimaklumi kegunaannya, namun secara de facto apakah benar program tersebut memang telah dijalankan dengan baik, tidak lebih besar pasak daripada tiang, sehingga terbukti dapat mensejahterakan rakyat. Ini adalah hal yang masih meragukan publik dan harus dibuktikan Pemerintah.
Kondisi yang memprihatinkan ini pantas jika disebut sebagai kondisi darurat, karena kasus tambang ilegal terjadi bukan hanya pada tambang yang kecil-kecil namun juga yang utama adalah pada tambang besar.
Kemudian, kegiatan tersebut ternyata bukan hanya ditengarai dibeking oleh aparat berbintang, tetapi juga diperlicin oleh birokrat selevel eselon satu, baik setingkat Kepala Badan maupun Dirjen di Kementerian ESDM. "Ini kan sangat luar biasa."
"Kita perlu serius menata soal ini. Jangan sampai bangsa ini menyesal, karena alih-alih SDA yang berlimpah karunia Tuhan ini membawa manfaat, namun malah sebaliknya menyimpan kutukan SDA, berupa lingkungan yang rusak, cadangan SDA yang ludes, rakyat yang tetap miskin, ketimpangan yang semakin menganga dan tatanan sosial yang semakin hancur," tandas Mulyanto. [Fhr]