Oleh: Sulung Nof
MENURUT KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), Mahasiswa adalah seseorang yang belajar di perguruan tinggi, baik di universitas, institut atau akademi. Jika ditinjau berdasarkan suku kata, makna mahasiswa menempati level teratas dalam jenjang pendidikan, baik dari sisi usia, pengetahuan, pengalaman, dll. Dibandingkan dengan siswa TK/PAUD, SD, SMP, dan SMA, maka mahasiswa bisa dikatakan sebagai "Siswa yang Maha".
Mahasiswa dikenal sebagai Agent of Change (Agen Perubahan). Gelora mudanya yang rutin berinteraksi dengan ilmu dan pergerakan adalah modal utama sebagai kontrol sosial.
Jiwanya akan terpanggil saat keadilan ditindas. Sejarah mencatat, ketika mahasiswa sudah turun ke jalan untuk mengoreksi penguasa, saat itulah situasi sosial politik berubah bagai bola salju.
Sebagai contoh perjuangan Arif Rahman Hakim dkk. Ia seorang mahasiswa kedokteran UI. Sejak masa pergerakan kemerdekaan Indonesia, mahasiswa kedokteran memang dikenal kiprahnya dalam pelayanan medis untuk masyarakat – terutama yang kurang mampu – serta merintis perjuangan melawan kolonial.
Gedung Stovia adalah saksi bisu rapat-rapat pergerakannya. Arif Rahman Hakim menjadi triger perlawanan mahasiswa ketika tewas didor dalam aksi Tritura pada tahun 1966. Namanya pun diabadikan sebagai nama masjid dan nama jalan.
Menurut Bunda Elly Risman Musa, psikolog dan pakar pendidikan anak dan parenting, terdapat 12 gaya populer kekeliruan dalam mendidik anak, salah satunya adalah "membandingkan."
Oleh karenanya, saya tak akan membandingkan generasi mahasiswa dulu dan sekarang dalam tulisan ini, kecuali hanya sekedar kilas balik sepenggal ceritera masa lampau. Setelah itu akan disajikan pokok pikiran perihal apa yang terjadi dengan adik-adik mahasiswa dewasa ini.
Sebagai Driver Ojek Online, salah satu spot antar-jemput favorit saya adalah kampus. Biasanya selama perjalanan ke tempat tujuan diisi dengan obrolan. Macam-macam tema obrolannya. Ngalor ngidul.
Selain itu, banyak juga penampakan-penampakan yang akhirnya mendorong saya untuk membuat daftar tentang apa saja yang sedang dialami mahasiswa sehingga mereka seolah menjauh dari masyarakat. Misinya sebagai Agen Perubahan yang diharapkan menjadi kontrol sosial ditinggalkan begitu saja selama beberapa tahun terakhir.
Pertama, mahasiswa sekarang memiliki beban SKS yang lumayan berat dan padat. Mereka mesti pintar-pintar atur waktu untuk mengelola kegiatan organisasi jika aktif di kegiatan kampus.
Kalau tidak, nilai bisa jeblok dan terancam DO. Akhirnya orang tua yang telah membiayai merasa kecewa. Impian mendapatkan kerja yang nyaman atau beasiswa idaman pun terhambat.
Kedua, ada kampus yang dosennya memfasilitasi komunikasi dengan sebuah grup Whatsapp ataupun Telegram. Biasanya, percakapan tentang situasi sosial politik dilarang dalam forum ini.
Mahasiswa yang tetap 'nakal' melakukan kritik sosial di grup bakal ditegur dosen, bisa-bisa ditandai dan mungkin sulit mendapat nilai bagus saat ujian. Atau jangan-jangan malah tersandung melulu saat bimbingan penyusunan skripsi. Ini dicoret, itu dicoret.
Ketiga, semakin canggih dan cepat keluaran ponsel cerdas berbanding lurus dengan semakin kerennya game yang ditawarkan.
Akhirnya sebagian mahasiswa ikut menggandrungi permainan bahkan sampai lupa waktu. Mahasiswa yang mulai jenuh dengan kegiatan kampus mencari pengalihan dengan bermain game. Mereka tenggelam dalam dunianya sendiri.
Keempat, di sekitaran kampus banyak sekali kost-kostan, mulai dari kost khusus puteri maupun yang bebas. Kadang mahasiswi order ojek online dengan tujuan sebuah hotel, atau dunia malam. Kadang mereka order makanan lewat tengah malam.
Ketika diantar ke kostannya, ternyata ada mahasiswa dan mahasiswi sedang belajar bersama, berdua dalam kamar. Banyak mahasiswa yang terjebak asmara di kamar kost.
Kelima, kampus adalah tempat dimana segala percakapan dan perbedaan pendapat didiskusikan. Namun belakangan ada semacam tekanan yang membuat mental mahasiswa kendor.
Mereka sulit lagi mengemukakan pendapat karena adanya potensi ancaman akademik. Jika hal itu saja sudah membuat nyali ciut, apatah lagi dengan ancaman lainnya. Ada pameo menarik, "Mahasiswa takut sama dosen | Dosen takut sama rektor | Rektor takut sama Menteri | Menteri takut sama Presiden | Presiden takut sama mahasiswa."
Dari kelima daftar analisa di atas, barangkali tidak sepenuhnya benar. Setidaknya tak semua mahasiswa demikian. Tanda-tandanya mulai nampak. Masyarakat masih yakin dan menaruh harapan kepada mahasiswa untuk bangkit dari fenomena di atas.
Sebab, mahasiswa bukan lagi anak TK, yang ketika rewel lalu diberi permen langsung diam. Jiwa mahasiswa adalah idealis, bukan pragmatis. Maka sejatinya mereka akan tetap lantang, meski diajak makan siang.
"Kami Mahasiswa Indonesia Bersumpah | Bertanah Air Satu | Tanah Air Tanpa Penindasan |
Kami Mahasiswa Indonesia Bersumpah | Berbangsa Satu | Bangsa yang Gandrung akan Keadilan |
Kami Mahasiswa Indonesia Bersumpah | Berbahasa Satu | Bahasa Tanpa Kebohongan."
Hidup Mahasiswa. Hidup Rakyat.[***/tp]