Haidar Alwi Sesalkan Ada Pihak Mencoba Adu Domba Kapolri - Telusur

Haidar Alwi Sesalkan Ada Pihak Mencoba Adu Domba Kapolri


telusur.co.id - Pendiri Haidar Alwi Institute (HAI), R Haidar Alwi menganggap, tuduhan bahwa Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo melakukan persekusi atau sengaja mencari-cari kesalahan Calon Kapolri pilihan Presiden Prabowo merupakan narasi yang lemah, tidak berdasar. Tuduhan itu juga berpotensi menimbulkan kerusakan besar dalam tatanan politik maupun keamanan nasional.

"Isu ini muncul tanpa dilandasi bukti konkret, lebih banyak berisi sindiran dan spekulasi yang sengaja digiring untuk menciptakan persepsi publik seolah-olah terdapat ketegangan antara Presiden dan Kapolri," kata Haidar Alwi dalam keterangannya, Jumat (26/9/2025).

Menurutnya, narasi semacam ini cenderung kepada upaya adu domba yang berbahaya. Dengan mengemukakan isu bahwa Kapolri mengincar calon Kapolri pilihan Presiden, ada pihak-pihak yang sebenarnya ingin menimbulkan friksi di tingkat elit. 

"Mereka berusaha memunculkan kesan bahwa terjadi perpecahan antara Presiden Prabowo dan Kapolri Jenderal Listyo. Padahal keduanya sama-sama solid menjaga stabilitas nasional, memperkuat institusi, serta memastikan reformasi Polri berjalan dengan baik," ungkapnya.

Upaya adu domba ini tak hanya menyasar hubungan personal, tetapi juga menguji ketahanan negara. Sebab, jika masyarakat termakan isu, kepercayaan terhadap pemerintah dan aparat penegak hukum bisa tergoncang.

Lebih jauh lagi, tuduhan yang tidak didukung data hanya akan menjadi bahan bakar bagi instabilitas nasional. Indonesia saat ini berada dalam situasi yang menuntut soliditas antarlembaga negara untuk menjawab tantangan keamanan, ekonomi, dan geopolitik global.

"Menggiring isu seolah-olah Kapolri melakukan persekusi bukan hanya merusak nama baik pribadi Jenderal Listyo, tetapi juga mencederai marwah institusi Polri serta menodai proses demokrasi. Tuduhan semacam ini bisa menciptakan ruang bagi provokator, menimbulkan perpecahan, hingga membuka celah bagi aktor-aktor yang memang menginginkan kekacauan," jelasnya. 

Pola adu domba antara Kapolri dan Presiden sejatinya bukanlah hal baru. Sebelumnya, publik juga sudah disuguhi berbagai isu yang sengaja dipelintir untuk menciptakan kesan adanya konflik di pucuk kepemimpinan.

Mulai dari wacana Reformasi Polri yang dibelokkan seolah-olah untuk mengganti Kapolri Jenderal Listyo, isu yang menyebut Presiden sudah mengirimkan nama calon Kapolri ke DPR, hingga tudingan bahwa Tim Transformasi Reformasi bentukan Kapolri adalah upaya menandingi Komite Reformasi Polri bentukan Presiden.

Seluruh isu tersebut akhirnya kandas setelah muncul klarifikasi langsung dari istana maupun DPR sebagai pemegang otoritas, yang menegaskan tidak ada pertentangan sebagaimana digoreng oleh pihak-pihak tertentu.

"Fakta ini menunjukkan adanya pola sistematis: membangun narasi palsu, menggiring opini publik, dan berharap tercipta keretakan antara Presiden dan Kapolri, meski ujungnya selalu terbantahkan oleh kenyataan," tutur Haidar Alwi.

Oleh karena itu, tuduhan tanpa bukti terhadap Kapolri seharusnya dipandang bukan sekadar kritik, melainkan sebagai upaya sistematis untuk mengguncang fondasi kepercayaan antara Presiden dan Kapolri.

Publik seharusnya lebih kritis dalam menyaring informasi dan tidak mudah terseret oleh opini yang tidak memiliki dasar hukum maupun data. Stabilitas nasional adalah aset bersama yang tidak boleh dikorbankan demi kepentingan politik se-saat atau permainan narasi yang penuh spekulasi.

"Dalam konteks ini, menjaga kerukunan dan soliditas antara pimpinan negara dan aparat penegak hukum jauh lebih penting daripada meladeni tuduhan yang jelas-jelas tidak berdiri di atas fakta," pungkas Haidar Alwi.

Pernyataan Haidar ini menanggapi mantan perwira intelijen, Kolonel (Purn) Sri Radjasa, yang menuding Kapolri melakukan insubordinasi yang bahkan ia sebut sebagai bentuk “kudeta kebijakan.”

Dalam video di kanal Forum Keadilan TV, 25 September 2025, Sri Radjasa menyebut sedikitnya ada tiga tindakan pembangkangan Kapolri terhadap Presiden. Yang paling mencolok adalah pembentukan tim reformasi internal Polri beranggotakan 52 perwira aktif.

Menurutnya, langkah itu berseberangan dengan kebijakan Presiden yang sebelumnya mengumumkan tim reformasi eksternal dengan tokoh sipil seperti Ahmad Dofiri dan Mahfud MD. “Tim reformasi yang dibentuk Kapolri ini adalah insubordinasi terhadap kebijakan Presiden Prabowo,” ujarnya

Dia menilai, pembentukan tim internal Polri justru bertujuan melindungi kepentingan elite kepolisian, bukan melakukan perbaikan menyeluruh. “Tim Presiden bertujuan meluruskan Polri, sementara tim internal hanya untuk mengamankan privilege dan luxuri,” katanya.

Kritik semakin keras karena pengumuman tim internal dilakukan saat Presiden tengah berada di luar negeri. Bagi Sri Radjasa, momentum itu memperlihatkan manuver politik yang tidak etis. “Ini bukan sekadar teknis waktu, tapi sebuah pembangkangan,” tegasnya.

Selain itu, Sri Radjasa mengungkap insiden lain terkait mutasi Kapolda. Presiden disebut memerintahkan penempatan seorang perwira penerima Adhi Makayasa, namun nama itu hilang dalam SK mutasi. “Presiden marah-marah, baru nama itu disusulkan. Ini jelas melawan perintah,” ungkapnya.

Bagi Sri Radjasa, insubordinasi tidak bisa dianggap remeh. “Melawan perintah Presiden adalah tindak pidana. Sanksinya jelas: penjara dan pecat. Cuma itu dua,” tandasnya.[Nug] 


Tinggalkan Komentar