telusur.co.id - Wakil Ketua Umum DPN Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia Fahri Hamzah menyebut jika pemilu di negeri ini, menjadi agak liar ketegangannya. Karenanya ada banyak hal yang perlu diperbaiki.
Hal itu disampaikan Fahri Hamzah saat berbicara dalam diskusi Dialektika Demokrasi bertema "Peran DPR RI Kawal Tahapan Pemilu, Usai Pendaftaran Capres" di Media Center Parlemen, Gedung Nusantara III, Senayan, Jakarta, Kamis (26/10/23).
"Saya mengkritik ini sudah lama. Jadi kalau kita mau menciptakan pemilu yang tidak lebih tegang seperti sekarang ini, kita harus menata secara serius, hal-hal yang kita catat hari ini harus kita ubah, paling tidak dua undang-undang," kata Fahri.
Fahri bahkan mengaku selalu mencoba mengungkapkan apa yang terjadi dengan menganalisis sebab-sebab ketegangan, dalam menganalisa situasi dan kalau ini sebuah kompetisi. Dan biasanya kompetisi tersebut jadwalnya jelas, sehingga akan mendatangkan penonton musiman.
"Yang main juga jelas siapa di situ, sehingga datanglah penonton itu idol-idol dari jagoan-jagoan yang akan muncul, kemudian juga rutenya dari pertarungan itu. Kalau kita nonton MotoGP atau ada sirkuit-sirkuitnya, selain mendatangkan satu keasyikan, tetapi pada dasarnya ketegangan itu terkelola, karena itu seperti suatu yang menarik," urainya.
Sedang dua UU yang dimaksud Wakil Ketua DPR RI Periode 2014-2019 tersebut adalah UU tentang Partai Politik (Parpol) dan UU Pemilu. UU Parpol itu, menurut Fahri, harus menegaskan otoritas partai sebagai satu-satunya peserta di dalam pemilu legislatif (Pileg) dan pemilihan presiden (Pilpres).
"Ini penting betul, karena Undang-Undang Dasar (UUD) bilang demikian, yakni kalau mau merubah, maka mengubah harus konstitusinya," ujarnya.
Selain itu, lanjut Fahri, parpol itu juga harus punya kepercayaan diri dari awal, untuk mendesain bahwa peserta pemilu itu adalah parpol, sehingga kedisiplinan jenjang dalam karir politik, keanggotaan, afiliasi partai seperti yang selama ini didiskusikan itu memang harus dimatangkan.
"Sehingga nanti ke depan nggak ada lagi pengusaha di tengah jalan yang punya uang numpang dengan jadi calon. Itu akan hilang. Tapi tentunya kita harus berani itu, meskipun sebagai parpol tidak mempunyai modal alias uang. Tapi jangan karena tidak punya uang, lantas dikasih kesempatan kepada para pemilik uang untuk masuk dalam politik," ungkapnya.
"Nah, ke depannya mesti ini berkeras. Jadi pendulumnya adalah di satu sisi partai politik harus serius mengatur karir orang politik. Dan di dalam partai politik tidak boleh berlonggar-longgar soal keanggotaan yang sekarang ini sedang kita kritik. Tetapi di pendulum yang lain saya mengusulkan adanya kebebasan dari kader partai yang menjadi pejabat publik. Itu kalau dua pendulum kita selesaikan itu enak kita melihat politik kita ke depannya," sambungnya.
Yang kedua, kata Fahri, adalah melakukan revisi terhadap UU Pemilu, khususnya terkait ambang batas pencalonan presiden atau Presidential Threshold/PT 20 persen dan juga Parliamentary Threshold.
"Biarlah orang kampung dari partai misalnya, suatu hari dia terpilih, sehingga nitip suara dia itu ada jaminan. Biarin aja dia sendiri di sini kalau partainya enggak lolos threshold, ngapain nggak ada kesulitannya mengelola partai yang banyak di parlemen ini, bubarkan itu fraksi kalau kita mau," pungkasnya. [Tp]