telusur.co.id - Anggota Badan Anggaran (Banggar) DPR RI Sigit Sosiantomo mengingatkan bahaya beban bunga hutang RI yang sudah melampaui batas aman IMF. Jika tidak hati-hati, utang yang besar dan melampaui rasio yang aman akan semakin membebani APBN bahkan bisa menyebabkan negara dianggap bangkrut akibat default (gagal bayar).
"Beban bunga utang yang perlu ditanggung oleh pemerintah pada 2021 mendatang mencapai Rp373,3 triliun atau naik 10,2% dari outlook beban bunga utang 2020 sebesar Rp338,8 triliun. Kontribusi pembayaran bunga utang terhadap penerimaan negara mencapai 21% atau lebih tinggi ketimbang tahun 2020. Ini harus diwaspadai. Jika tidak hati-hati negara bisa bankrut karena beban bunga hutang sangat tinggi," kata Sigit.
Sigit mengatakan beban bunga hutang yang harus dibayar pemerintah pada 2021 tersebut sudah melampaui rekomendasi IMF dalam International Standards of Supreme Audit Institutions (ISSAI) 5411. Rasio bunga utang terhadap penerimaan yang oleh IMF dibatasi pada 7 persen hingga 10 persen telah dilampaui oleh pemerintah sejak 2015 di mana rasio bunga utang terhadap penerimaan mencapai 10,35 persen.
"Ratio pembayaran bunga utang terhadap penerimaan negara dalam RAPBN 2021 mencapai 21% naik dari tahun ini yang mencapai sebesar 20%. Ini sudah bukan melampaui batas aman lagi, tapi sudah naik 100% dan harus diwaspadai. Jangan sampai kita kita makin terlilit hutang dan tidak bisa membayar, apalagi sampai meninggalkan negara yang bankrut untuk anak cucu," Kata Sigit.
Sebelumnya, Dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II/2019, BPK juga sudah mengingatkan pemerintah mengenai kerentanan utang pemerintah telah melampaui rekomendasi IMF dalam International Standards of Supreme Audit Institutions (ISSAI) 5411.
Berdasarkan Laporan Hasil Reviu atas Kesinambungan Fiskal yang dikeluarkan BPK belum lama ini, menyebutkan rasio debt service terhadap penerimaan, rasio bunga utang terhadap penerimaan, dan rasio utang terhadap penerimaan telah melampaui batas aman IMF.
Rinciannya, pada 2018 rasio debt service terhadap penerimaan mencapai 39,06 persen, sedangkan IMF mematok batas aman di nominal 25 persen hingga 35 persen.
Rasio bunga utang terhadap penerimaan yang oleh IMF dibatasi pada 7 persen hingga 10 persen telah dilampaui oleh pemerintah sejak 2015 di mana rasio bunga utang terhadap penerimaan mencapai 10,35 persen.
Sementara rasio utang terhadap penerimaan yang oleh IMF dibatasi pada 90 persen hingga 150 persen sudah dilampaui oleh pemerintah sejak 2013 di mana rasio tersebut mencapai 165,09 persen.
"Setiap menambah utang seharusnya diukur dengan kemampuan membayar yang ditopang oleh penerimaan. Meski Produk Nasional Bruto (PDB) naik, tapi tidak diikuti dengan kenaikan penerimaan. Setiap tahun penerimaan terus melemah. Bahkan, tahun 2019 tax ratio anjlok ke 9,76%. Padahal target RPJMN 2014-2019 adalah 16%,"kata Sigit.
Tren penerimaan negara yang terus anjlok dan beban bunga hutang yang terus melambung bisa mengakibatkan negara bankrut karena gagal bayar.
"Hutang dan beban bunganya seharusnya bisa dibayar dengan penerimaan negara. Tapi, kalau bunganya saja sudah besar dan menguras APBN, bisa-bisa bayar bunga hutang dari hutang lagi. Jangan sampai itu terjadi." kata Sigit. [ham]